Konvensi dalam Hukum Lingkungan Internasional yang Berkaitan dengan perdagangan : Selain WTO ternyata perjanjian tentang perdagangan duga di atur dalam beberapa konvensi yang behubungan dengan lingkungan, hal ini dimaksudkan untuk lebih mengatur perdagangan agar sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan hal ini diatur dalam pasal 12 Deklarasi Rio.
Convention on International Trade of Endangered Species of Flora and Fauna (CITES)
CITES ditandatangani pada tanggal 3 Maret 1973 di Washington D.C. yang ketika itu penandatangan konvensi ini berjumlah 21 negara. Melalui konvensi ini, setiap negara peserta wajib menjalankan ketentuan-ketentuan di dalamnya yang akan diaplikasikan melalui Peraturan Nasional. CITES merupakan suatu konvensi yang mengatur perdagangan Internasional dan sebagai media konservasi terhadap flora dan fauna yang terancam punah. Hal ini dilakukan untuk melindungi spesies-spesies yang dilindungi dan memaksimalkan kegunaannya bagi manusia di masa sekarang dan masa yang akan datang. Konvensi yang sudah telah diratifikasi oleh 173 negara, sejak Oman meratifikasinya pada tanggal 13 Maret 2008, dianggap sebagai Magna Charta for Wildlife.
Tujuan utama dari konvensi ini adalah untuk mencegah dan membatasi perdagangan komersial internasional terhadap spesies-spesies yang terancam punah atau produk-produk lain yang dihasilkannya. Konvensi tersebut tidak hanya melindungi flora, namun juga fauna yang terancam kepunahan.Spesies-spesies ang memiliki kemungkin terancam terhadap kepunahan diklasifikasikan kedalam salah satu dari tiga appendiks yang terdapat di dalam CITES,dan spesies tersebut menjadi subjek dari sistem perijinan impor dan ekspor.
Terbentuknya konvensi ini didasari oleh pertimbangan dari peserta konvensi yang menyadari bahwa berbagai variasi satwa dan tumbuhan liar yang ada merupakan bagian dari sistem ekosistem bumi yang tidak terpisahkan. Hal tersebutlah yang membuat mereka harus dilindungi untuk generasi sekarang dan yang akan dating. Spesies-spesies tersebut memiliki nilai penting dalam estetika, ilmu pengetahuan, budaya, rekreasi, dan ekonomi. Untuk mewujudkan hal ini maka kerjasama internasional menjadi sebuah faktor yang penting dan mendasar untuk menciptakan perlindungan bagi spesies yang terancam punah tersebut dari eksploitasi berlebihan yang diakibatkan oleh perdagangan Internasional. dan sejak berlaku pada tahun 1975, tak ada lagi seekor spesies pun yang mengalami kepunahan.
Pengklasifikasian Spesies
Dalam CITES pengklasifikiasian spesies didasarkan kepada apakah suatu spesies terancam punah (ditinjau dari populasi dan lain-lain). Secara umum menurut CITES ada 3 klasifikasi, yaitu :
1. Spesies yang ternacam punah yang akan atau bisa saja terpengaruh akibat perdagangan yang dilakukan (Annex I)
2. Spesies yang belum punah tapi jika diperdagangkan secara besar-besaran akan mengalami kepunahan (Annex II)
3. Spesies yang belum punah tapi harus dilindungi untuk mencegah kepunahan akibat perdagangan (Annex III)
Pengaturan dan Klasifikasi perdagangan
Secara keseluruhan, CITES merupakan konvensi yang berlaku sebagai panduan umum untuk mengatur hal-hal yang berkaitan dengan perdagangan segala jenis tumbuhan dan satwa liar yang hidup di alam bebas. CITES mengatur mengenai perizinan internasional, tindakan yang dapat dilakukan oleh Negara anggota, perdagangan yang dilakukan oleh negara non-anggota, konferensi Negara peserta, hubungan antara hukum internasional dan peraturan domestik, dan amandemen terhadap konvensi itu sendiri.
Konvensi ini membagi perlindungan ke dalam tiga bagian yang termasuk di dalam appendiks I, II, dan III yang setiap appendiks menunjukan status spesies tersebut. Spesies yang di golongkan dalam Appendiks I adalah segala spesies yang terancam yang mungkin diakibatkan oleh perdagangan internasional.
Appendiks II menunjukan spesies ayang pada saat ini belum terancam oleh kepunahan namun dapat menjadi terancam apabila tingkat perdagangan terhadap spesies ini meningkat. Spesies dalam appendiks IIIadalah kategori spesies yang diatur dalam regulasi atau peraturan nasional negara anggota untuk menghindari ancaman terhadap kepunahan.
Sistem Perizinan Internasional
Pemberian izin ekspor dan impor
CITES memiliki sebuah mekanisme perizinan yang harus dipenuhi oleh negara anggotanya dalam melakukan ekspor dan impor terhadap suatu spesies tertentu yang termasuk di dalam daftar perlindungan CITES. Izin yang diberikanpun berbeda-beda pada setiap spesies tergantung pada kategorisasi terhadap spesies tersebut dalam apendiks CITES. Dalam konvensi ini terdapat tiga kelas kategorisasi terhadap spesies-spesies tersebut;
Izin ekspor dan impor untuk spesies dalam apendiks I
Segala spesies yang tercantum di dalam apendiks ini pada prinsipnya tidak boleh diperdagangkan . Spesies-spesies yang tercantum di dalam apendiks pertama ini terancam oleh kepunahan akibat atau yang dapat diakibatkan oleh perdagangan. Untuk spesies yang tercantum di dalam apendiks I tidak dapat diperdagangkan kecuali untuk keadaan luar biasa, dan izin untuk melakukan ekspor harus dibuktikan melalui export permits yang dikeluarkan oleh management authority negara pengekspor.
Menurut pasal III ayat 2, pihak pengekspor harus memenuhi syarat (hal ini berlaku juga pada negara yang hendak melakukan ekspor ulang / re-export) :
(1) Pihak otoritas negara pengekspor telah memberikan nasehat bahwa ekspor spesies tersebut tidak akan melukai specimen yang akan diekspor.
(2) Pihak otoritas menajemen meyakini spesies yang diperoleh bukanlah hasil dari penangkapan yang melanggar hokum perlindungan spesies liar.
(3) Pada proses pengapalan, harus dibuktikan bahwa kepada pihak otoritas manajemen bahwa tidak akan ada resiko terjadinya luka pada spesimen tersebut.
(4) Otoritas manajemen negara pengekspor juga harus meyakini bahwa izin impor atas spesimen tersebut telah diberikan oleh otoritas negara pengimpor.
Dalam kasus ekspor ulang, nasihat dari otoritas ilmiah tidak diperlukan. Import permit dapat dikeluarkan oleh management authority CITES apabila persyaratan yang diatur dalam pasal III ayat 3, yaitu:
(1) Otoritas ilmiah negara pengimpor telah menasehati bahwa impor dilakukan bukan untuk tujuan melukai specimen tersebut;
(2) Otoritas ilmiah negara pengimpor telah yakin bahwa Negara penerima sudah siap memberikan tempat perlindungan dan perawatan;
(3) Otoritas manajemen negara pengimpor meyakini impor tersebut bukan untuk tujuan komersial.
Izin ekspor dan impor untuk spesies dalam apendiks II
Apendiks II meliputi spesies yang saat ini belum terancam oleh kepunahan, namun sangat rentan terhadap kepunahan apabila perdagangan atas spesies ini tidak direlgulasi dan dilakukan pencegahan. Dalam hal perizinan untuk melakukan ekspor dan impor ketentuan yang belaku untuk spesies dalam apendiks II ini lebih ringan, yaitu hanya dengan memenuhi segala persyaratan pengekspor saja, namun tidak membutuhkan import permit.
Izin ekspor dan impor untuk spesies dalam apendiks III
Apendiks III merupakan kategori spesies yang dimasukan dalam daftar-daftar negara anggota CITES, di mana para anggota merasa bahwa spesies tersebut perlu dilindungi dan dibutuhkan kerjasama internasional untuk melindunginya. Dalam persyaratan spesies dalam apendiks III hanya membutuhkan export permit saja, dan tidak membutuhkan import permit.
Pengecualian persyaratan
Selain pengaturan di atas, terdapat pengecualian terhadap ketentuan-ketentuan terhadap perdagangan terhadap hewan yang termasuk di dalam apendiks I, II, dan III. Persyaratan yang harus dipenuhi menurut pasal VIII adalah :
1) Spesimen terdapat di dalam teritori negara peserta dan dalam keadaan transit, dan spesimen berada di bawah pengawasan dinas pabean;
2) Ketentuan dalam pasal III, IV, dan V tidak berlaku terhadap spesimen yang memiliki akibat–akibat terhadap personal atau persoalan rumah tangga. Atas pengecualian ini, juga terdapat pengecualian, yaitu bahwa pengecualian tidak berlaku jika :
a. Dalam kasus spesimen dalam apendiks I, spesimen tersebut diperoleh oleh pemiliknya di luar negara tempat kediamannya, dan diimpor ke dalam negara tersebut.
b. Dalam kasus spesimen dikategorikan di dalam apendiks II, :
i. Spesimen tersebut diperoleh oleh pemiliknya di luar negara tempat kediamannya dan dalam suatu Negara di mana pemindahan dari alam bebas dilakukan;
ii. Spesimen tersebut diimpor ke dalam Negara kediaman pemiliknya;
iii. Negara di mana terjadi pemindahan dari alam bebas menuntut pengabulan export permit terlebih dahulu sebelum ekspor tehadap spesimen itu dilakukan.
3) Perdagangan dilakukan sebelum spesies tersebut dimasukkan ke dalam salah satu apendiks CITES;
4) Spesimen yang merupakan hasil dari penangkaran juga dikecualikan, spesimen yang didapatkan dari hasil penangkaran hendaknya dianggap sebagai spesimen dari spesies yang berada apendiks II;
5) Pengecualian juga berlaku jika otoritas manajemen Negara pengekspor meyakini bahwa setiap spesimen dari spesies tumbuhan dan satwa merupakan hasil penangkaran atau pengembangbiakan secara sengaja;
6) Spesimen sebagai bagian dari museum, ekspor untuk eksebisi, sirkus, sepanjang didaftarkan pada otoritas manajemen negara yang bersangkutan.
Covention on Biological Diversity (CBD)
Konvensi ini pertama kali berlaku pada tanggal 29 Desember 2003. Berbeda dengan konvensi-konvensi lainnya yang pada umunya mengatur mengenai perlindungan dan konservasi pada spesies dan habitat tertentu atau hanya berlaku pada suatu wilayah regional tertentu, CBD mengatur perlindungan alam secara internasional dan lebih menyeluruh. Pengertian “Biological Diversity” sangatlah luas.
Dalam pasal 8 CBD mengatur mengenai konservasi in-situ (Konservasi di dalam habitat aslinya) dan pasal 9 mengatur mengenai konservasi ex-situ (konservasi di luar habitat asli dari spesies tersebut), misalnya kebun binatang.
Pasal 8 CBD menyatakan bahwa :
(a) “Establish a system of protected area or areas where social measures need to be taken to consever biological diversity
(b) Develop,…, guidelines for the selection, establishment and management of protected area or areas…”
Melalui konvensi ini negara peserta didorong untuk membentuk kawasan konservasi dan mengembangkan pedoman untuk penyeleksian, pembentukan, dan pengelolaan. Kawasan konservasi dilihat sebagai cara yang tepat untuk menjaga keanekaragaman.
Konvensi ini memiliki tiga tujuan utama yaitu:
i) Konservasi terhadap keanekaragaman,
ii) Pemanfaatan berkelanjutan dari komponen keanekaragaman tersebut melalui akses ke sumber genetik tersebut,
iii) Alih teknologi yang tepat guna, dengan pembiayaan yang memadai.
iv) Pembagian yang adil terhadap keuntungan yang didapat dari pemanfaatan komponen sumber daya
Pasal yang terkait dengan perdangangan
Walaupun tidak mengatur secara langsung,namun ada beberapa pasal dalam CBD yang berakitan dengan perdagangan, terutama yang mengatur tentang, sumber daya genetik (Genetic Resources). Pasal yang terkait dengan perdagangan adalah pasal 15 tentang akses terhadap sumber daya genetik :
1. Recognizing the sovereign rights of States over their natural resources, the authority to determine access to genetic resources rests with the national governments and is subject to national legislation.
2. Each Contracting Party shall endeavour to create conditions to facilitate access to genetic resources for environmentally sound uses by other Contracting Parties and not to impose restrictions that run counter to the objectives of this Convention.
3. For the purpose of this Convention, the genetic resources being provided by a Contracting Party, as referred to in this Article and Articles 16 and 19, are only those that are provided by Contracting Parties that are countries of origin of such resources or by the Parties that have acquired the genetic resources in accordance with this Convention.
4. Access, where granted, shall be on mutually agreed terms and subject to the provisions of this Article.
5. Access to genetic resources shall be subject to prior informed consent of the Contracting Party providing such resources, unless otherwise determined by that Party.
6. Each Contracting Party shall endeavour to develop and carry out scientific research based on genetic resources provided by other Contracting Parties with the full participation of, and where possible in, such Contracting Parties.
7. Each Contracting Party shall take legislative, administrative or policy measures, as appropriate, and in accordance with Articles 16 and 19 and, where necessary, through the financial mechanism established by Articles 20 and 21 with the aim of sharing in a fair and equitable way the results of research and development and the benefits arising from the commercial and other utilization of genetic resources with the Contracting Party providing such resources. Such sharing shall be upon mutually agreed terms.
Disini memang disebutkan bahwa Negara memiliki kedaulatan untuk membatasi akses dalam sumberdaya genetik, namun dalam prekateknya bisa saja Negara tersebut memberikan akses asalkan pihak yang membutuhkan tersebut membayar sejumlah biaya sebagai ganti di berikan akses tersebut.
Convention on Protection of World Cultural and Natural Heritage
Konvensi ini dibentuk ketika perang yang terus-menerus berkecamuk di dunia (Perang Dunia I dan II) mengakibatkan ancaman dan menyebabkan kerusakan terhadap banyak tempat peninggalan sejarah. Benda benda bersejarah tersebut tidak hanya rusak namun juga hilang.
Karena hal tersebutlah maka muncul ide untuk memberikan perlindungan terhadap situs-situs bersejarah, baik yang tergolong di dalam Warisan Budaya maupun Warisan Alamiah (Cultural and Natural Heritage). International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengajukan pembentukan sebuah konvensi internasional yang dapat memberikan perlindungan terhadap situs-situs tersebut.
Pada tahun 1972 dalam konvensi Unites Nations Conference on Human Environment (UNCHE), sebuah tugas diberikan kepada UNESCO untuk memperluas rancangan konvensi tersebut, yang kemudian menciptakan The Convention Concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 17 Desember 1975.
Konvensi ini memiliki misi mengidentifikasikan warisan alamiah dan budaya dunia. Selain itu konvensi bertujuan untuk memastikan keselamatan dan perlindungan terhadap warisan budaya dunia tersebut. Konvensi ini juga merupakan konvensi yang menggabungkan pengaturan antara warisan alamiah dan warisan budaya yang dianggap sebagai satu kesatuan warisan bersama dunia (common heritage of mankind).
Kyoto Protocol
Dalam Kyoto protocol hal yang bersinggungan dengan perdagangan adalah mengenai Clean Development Mechanism (CDM), dimana setiap Negara harus mengurangi efek rumah kaca untuk mencegah Global Warming, namun Negara (maju) yang bisa mengurangi efek rumah kacanya kurang dari yang targetkan bisa memperjualbelikan “jatah”-nya kepada Negara yang membutuhkan.
Basel Convention
Konvensi ini mengatur tentang perdagangan limbah lebih spesifik lagi mengenai ekspor-impor dan tata cara,pertanggung jawaban apabila terjadi pencemaran, jadi bisa dikatakan bahwa konvensi ini mengatur tentang perdagangan dan lingkungan sekaligus.
0 komentar:
Post a Comment