Tren Investasi Di Indonesia Dan Faktor Yang Mempengaruhinya
Investasi memegang peranan penting dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Investasi dapat dilakukan oleh pemerintah melalui Anggaran Pembiayaan Pembangunan dan investasi swasta/masyarakat. Investasi yang dilaksanakan pemerintah terutama untuk mendorong penciptaan iklim usaha yang kondusif, penyediaan sarana dan prasarana, serta pemberdayaan ekonomi rakyat. Sedangkan investasi swasta/masyarakat baik yang berupa penanaman modal asing maupun penanaman modal dalan negeri, dilaksanakan terutama untuk meningkatkan pemanfaatan sumber daya lokal menjadi kekuatan ekonomi riil yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi, membuka kesempatan kerja, serta menunjang pendapatan daerah.
Di Indonesia, pada periode 1980-an hingga pertengahan 1990-an menunjukkan bukti bahwa investasi, khususnya PMA menjadi faktor pendorong yang sangat krusial bagi pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan. Terutama jika melihat kenyataan bahwa sumber perkembangan teknologi, perubahan struktural, diversifikasi produk, dan pertumbuhan ekspor di Indonesia selama periode tersebut, sebagian besar karena kehadiran PMA di Indonesia. Namun, perkembangan investasi di Indonesia sejak terjadinya currency attact pada pertengahan tahun 1997 sampai dengan 2006 dapat dikatakan mengalami penurunan.
Banyak sekali faktor-faktor yang sebagian besar saling terkait satu sama lainnya dengan pola yang sangat kompleks yang menyebabkan lambatnya pemulihan investasi di Indonesia hingga saat ini. Faktor-faktor tersebut mulai dari yang sering disebut di media masa yakni masalah keamanan, tidak adanya kepastian hukum, dan kondisi infrastruktur yang buruk, hingga kondisi perburuhan yang semakin buruk.
Jadi dari uraian di atas, pokok permasalahan yang menjadi pembahasan utama dari tulisan ini adalah iklim investasi yang sangat kompleks, yang implikasinya adalah bahwa kebijakan investasi tidak bisa berdiri sendiri. Dalam kata lain, bagaimanapun bagusnya suatu kebijakan investasi, efektivitas dari kebijakan tersebut akan tergantung pada banyak faktor lain di luar wilayah kebijakan investasi, karena faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi keputusan seseorang untuk melakukan investasi atau membukan usaha baru di Indonesia. Lebih spesifik, tulisan ini akan membahas masalah, tantangan dan potensi investasi di Indonesia.
Dalam penulisan ini didukung oleh penggunaan data yang diperoleh dari berbagai penerbitan yang dibuat oleh BKPM, BPS, dan BI. Penggunaan data sekunder ini diharapkan dapat mendukung analisa tentang investasi di Indonesia dan faktor- faktor yang mempengaruhinya.
Investasi di Indonesia dan Permasalahannya.
Gambar menunjukkan bahwa setelah krisis 1998 jumlah proyek baru PMA, paling tidak berdasarkan data persetujuan dari BKPM, sempat mengalami peningkatan. Namun setelah tahun 2000, jumlahnya menurun dan cenderung akan berkurang terus. Satu hal yang menarik dari data BKPM tersebut adalah bahwa sejak krisis, jumlah proyek baru PMA rata-rata per tahunnya lebih besar daripada jumlah proyek baru PMDN (penanaman modal dalam negeri). Ini menandakan bahwa bagi perkembangan investasi langsung/jangka panjang di dalam negeri, khususnya dalam periode pasca krisis, peran PMA jauh lebih penting daripada PMDN. Namun demikian, dilihat dari nilai nettonya (arus investasi masuk – arus keluar), gambarannya setelah krisis lebih memprihatinkan; walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat kembali positif (Tabel ).
Lebih banyaknya arus PMA keluar daripada masuk mencerminkan buruknya iklim investasi di Indonesia. Terutama perusahaan-perusahaan asing di industri-industri yang sifat produksinya footloose seperti elektronik, tekstil dan pakaian jadi, sepatu, dan lainnya, yakni yang tidak terlalu tergantung pada sumber daya alam atau bahan baku lokal di Indonesia akan dengan mudahnya pindah ke negara-negara tetangga jika melakukan produksi di dalam negeri sudah tidak lagi menguntungkan.
Tabel Nilai Neto Arus PMA ke Indonesia, 1990-2004 (juta dollar AS)
Sumber: Bank Indonesia: Indonesian Financial Statistics, beberapa terbitan berturut-turut sampai Februari 2005 dan Tulus Tambunan (2006)
Catatan: arus masuk PMA termasuk privatisasi BUMN kepada pihak asing, dan restrukturisasi perbankan, terutama penjualan asset-aset bank ke investor asing.
Buruknya daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata lagi jika dibandingkan dengan perkembangan PMA di negara-negara lain. Misalnya dalam kelompok ASEAN, Indonesia satu-satu negara yang mengalami arus PMA negatif sejak krisis ekonomi 1998; walaupun nilai negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000. Hal ini ada kaitannya dengan iklim politik yang semakin baik dibandingkan pada periode 1998-1999, yang memperkecil keraguan calon-calon investor untuk menanam modal mereka di Indonesia.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi mencerminkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi secara produktif dan berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi, dan bisa menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin, di sisi lain (Stern, 2002). Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan bahwa di China dan India, sebagai hasil dari perbaikan-perbaikan iklim investasi pada dekade 80-an dan 90-an yang menurunkan biaya dan risiko investasi sangat drastis, maka investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto (PDB) meningkat hampir 200 persen.
Berdasarkan data dari BKPM menunjukkan, nilai persetujuan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) pada tahun 1997 tercatat sebesar Rp 119 triliun dengan jumlah proyek 719 unit. Pada tahun 1998 merosot menjadi tinggal Rp 58 triliun dengan 323 proyek. Dan pada pada tahun 2002 terbukti tinggal Rp 25 triliun dengan 196 proyek persetujuan rencana investasi atau turun sebesar 27,41% dari tahun 2001. Meskipun pada tahun 2000, rencana persetujuan investasi mengalami peningkatan 73,64% dibanding tahun 1999, dengan nilai investasi Rp 95 triliun dan jumlah proyek sebanyak 415 unit.
Masih menurut data yang dikeluarkan oleh BKPM, bahwa pada tahun 2003 terjadi peningkatan 19,90% atau naik 46 unit dengan tingkat kenaikan yang signifikan nilai proyek sebesar Rp 55 triliun. Sementara pada tahun 2004, persetujuan rencana investasi kembali mengalami penurunan 14,47% atau turun 14 unit dengan jumlah nilai proyek Rp 44 triliun atau turun 19,65%. Penurunan jumlah investasi domestik ini diakibatkan oleh situasi politik yang pada waktu itu terjadi pemilu legislatif dan kepemimpinan nasional yang telah dilakukan secara demokratis. Keadaan ini terbukti masih belum menarik investor domestik untuk menanamkan modalnya di negeri sendiri. Sedangkan pada tahun 2005 jumlah proyek yang disetujui kembali meningkat sebesar 14,47% atau 218 unit dengan nilai proyek sebesar Rp 50 triliun atau naik 13,61% dari periode sebelumnya.
Dengan mengkomparasikan penelitian Ades dan Di Tella dan hasil survei Transparency International (2002) tentu tidaklah mengherankan ketika kita mengetahui bahwa tingkat angka persetujuan investasi menurun di Indonesia, baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA). Sebagaimana yang diketahui dua jenis investasi ini mengalami kemerosotan tajam selama semester pertama tahun 2002 dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2001. PMDN angkanya anjlok hingga 72 persen, yakni dari Rp 39,788 triliun dengan 130 proyek menjadi Rp 11,114 triliun dengan 80 proyek.
Gambar Perkembangan Investasi Domestik (PMDN) dan Asing (PMA) 1967 – 31 Juli 2006
Sumber: BKPM (2006)
Sementara investasi asing yang melalui PMA pada tahun 1997 mencapai US$ 33,8 milyar dengan 783 unit proyek, dan pada tahun 1998 merosot tinggal US$ 13,6 milyar atau turun 59,50% dengan jumlah proyek sebanyak 958 unit proyek. Hingga tahun 2006 (31 Juli 2006), secara umum nilai PMA telah mengalami penurunan, kecuali tahun 2000, 2003, dan 2005. Pada tahun tersebut, terjadi kenaikan masing-masing sebesar 47%, 44,03%, dan 30,33%. Adapun jumlah proyek pada tahun tersebut masing-masing 1559, 1242, dan 1648 unit proyek. Kendati demikian, secara umum PMA tetap masih mengalami penurunan pasca krisis ekonomi pada pertengahan 1997.
Berdasarkan gambar di atas, juga dapat ditunjukkan bahwa terdapat peningkatan sekitar 33,44% jumlah persetujuan PMA atau meningkat sebesar 413 proyek jika dibandingkan pada tahun 2004. Peningkatan ini bersamaan dengan tumbuhnya ekonomi sebesar antara 5 - 6% sejak akhir 2004. Pada paruh pertama 2006, PMA yang telah disetujui sebanyak 976 proyek (data per 31 Juli 2006) dengan nilai proyek sebesar US $ 7.495,1 juta. Sementara, Negara seperti Inggris, Jepang, Cina, Hong Kong, Singapura, Australia, dan Malaysia adalah sumber-sumber PMA yang dianggap penting. Menurut data statistik BKPM (2006) jumlah total arus masuk PMA yang diseujui di Indonesia adalah US$ 10.419,2 juta pada tahun 2004. sebelumnya US$ 9.965,7 juta pada tahun 2002, US$ 33.665,7 juta pada tahun 1997 dan US$ 29.610,1 pada tahun 1996, serta jumlah nilai tertinggi PMA yang dietujui oleh pemerintah selama kurun 1967 – 2006 adalah pada tahun 1995 dengan nilai proyek US$ 39.657,5 atau 769 proyek [tahun puncak].
Perusahaan-perusahaan multinasional yang ingin menyedot sumber daya alam menguasai pasar (baik yang sudah ada dan menguntungkan maupun yang baru muncul) dan menekan biaya produksi dengan mempekerjakan buruh murah di negara berkembang, biasanya adalah para penanam modal asing ini. Contoh 'klasik' PMA semacam ini misalnya adalah perusahaan-perusahaan pertambangan Kanada yang membuka tambang di Indonesia atau perusahaan minyak sawit Malaysia yang mengambil alih perkebunan-perkebunan sawit di Indonesia. Cargill, Exxon, BP, Heidelberg Cement, Newmont, Rio Tinto dan Freeport McMoRan, dan INCO semuanya memiliki investasi di Indonesia. Namun demikian, kebanyakan PMA di Indonesia ada di sektor manufaktur di Jawa, bukan sumber daya alam di daerah-daerah.
Dari grafik di atas, dapat diketahui bahwa baik PMDN maupun PMA tampak memiliki pola yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa investor asing dan domestic mempunyai ekspektasi yang sama. Yang menarik adalah aliran investasi asing langsung yang negatif masih terus berlanjut bahkan setelah tahun 2000. Dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia adalah Negara yang paling terpukul (shock) akibat krisis ekonomi. Dan satu-satunya Negara yang mempunyai pertumbuhan FDI (foreign direct investment) yang negatif (LPEM dan JETRO, 2003). Akibatnya ada banyak pertanyaan penting khususnya investor asing mengenai daya saing Indonesia dalam menarik modal asing. Stabilitas politik dan keamanan dalam negeri dapat mempengaruhi iklim investasi di Indonesia untuk saat ini dan yang akan datang.
Masih menurut studi JETRO (2003) dalam Kuncoro (2004) juga menunjukkan bahwa iklim investasi Indonesia jauh lebih buruk dibandingkan dengan China (Tiongkok), Thailand, Vietnam, dan Negara-negara ASEAN lainnya. Faktor penyebabnya adalah masalah perburuhan (meningkatnya biaya buruh dan demostrasi buruh), masalah pabean, tak adanya insentif fiscal, dan berbagai kebijakan yang tidak pro-bisnis. Studi JETRO ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh KPPOD (2005) tentang daya tarik investasi menurut persepsi dunia usaha menunjukkan bahwa faktor kemanan, sosial budaya mempunyai bobot terbesar dalam mempengaruhi daya saing investasi sebagian besar daerah di Indonesia, yakni mencapai 27,4%. Kemudian disusul factor ekonomi daerah (22,6%), faktor tenaga kerja (18,3%), faktor infrastruktur fisik (16,7%), dan faktor kelembagaan (15%).
Gambar Jumlah Rencana Proyek Investasi Domestik (PMDN) dan Asing (PMA) 1967 – 31 Juli 2006
Sumber: BKPM (2006)
Gambar menunjukkan perbandingan persetujuan jumlah rencana proyek investasi PMDN dan PMA periode 1967 – 31 Juli 2006. Jumlah proyek investasi yang meliputi proyek baru, perluasan, dan alih status; tidak termasuk migas, lembaga keuangan non bank, asuransi, leasing, sewa guna usaha. Pertambangan dalam juga tidak termasuk data 1 (satu) persetujuan rencana investasi PMDN yang dikeluarkan oleh BKPM bulan Juni 2005 di bidang Industri Pupuk & Kimia Pada periode tersebut, jumlah proyek PMDN tetinggi yaitu pada tahun 1990 sebesar 1.339 unit dan terendah adalah pada saat awal dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing No. 1 Tahun 1967 oleh Presiden Soekarno.
Sedangkan jumlah persetujuan rencana proyek investasi asing (PMA) ada kecenderungan mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada tahun 2005, yaitu sebanyak 1.648 unit proyek. Jika dibandigkan dengan jumlah proyek PMDN, maka PMA lebih besar 309 unit proyek. Hal ini menunjukkan bahwa peran PMA dalam perkembangan ekonomi Indonesia adalah sangat besar. Namun secara umum jumlah investasi di Indoensia dapat dikatakan mengalami penurunan, karena pergerakan ekonomi nasional sejak akhir tahun 1999 hingga saat ini masih lebih didorong oleh pertumbuhan konsumsi (consumption driven), bukan oleh pertumbuhan investasi (investment driven) yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia sangat tergantung pada arus modal asing, baik dalam bentuk pinjaman, bantuan (hibah), dan investasi dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) maupun portfolio investment. Mengingat, Indonesia sangat membutuhkan dana yang besar untuk investasi, sementara dana dari dalam negeri sangat terbatas.
Sementara perkembangan realisasi investasi usaha (izin usaha tetap) PMDN selama periode 1990 – 31 Desember 2006 menunjukkan rata-rata pertumbuhan realisasi proyek PMDN yang positif sebesar 1,36%. Jumlah realisasi proyek tertinggi pada periode tersebut adalah tahun 1994 yang mencapai 582 unit proyek dengan nilai investasi sebesar Rp 12,8 triliun. Namun, realisasi proyek PMDN setelah krisis ekonomi 1997 mengalami pertumbuhan yang negatif hingga tahun 1999. Hal ini diakibatkan oleh adanya ketiakpastian usaha dan kondisi politik tahun 1999.
Gambar Realisasi Nilai Investasi Domestik (PMDN) dan Asing (PMA) 1967 – 31 Juli 2006
Sumber: BKPM (2006)
Mulai tahun 2000, tingkat pertumbuhan realisasi nilai investasi domestic mulai meningkat lagi pada tahun 2002 yang mencapai 26,38% dengan nilai investasi sebesar Rp 12,5 triliun. Ironisnya pada periode berikutnya realiasasi nilai investasi bertumbuh negatif sebesar 4,88%, meskipun realisasi proyek PMDN mengalami peningkatan 11 unit proyek. Realisasi nilai investasi pada tahun 2003 menjadi sebesar Rp 11,8 triliun. Seiring dengan membaiknya stabilitas ekonomi makro mendorong peningkatan realisasi nilai investasi yang mencapai Rp 15,26 triliun atau 28,38%.
Sementara untuk tahun 2005, realisasi nilai investasi meningkat lebih dari 100%, dengan jumlah nilai investasi PMDN sebesar Rp 30,665 triliun. Namun, pada tahun 2006, jumlai realisasi investasi PMDN kembali mengalmi penurunan sebesar 62,63% dengan nilai Rp 11,46 triliun. Hal ini disebabkan data yang tercatat baru sampai paruh pertama tahun 2006. Jika melihat stabilitas indikator ekonomi makro nasional, diperkirakan realisasi nilai investasi PMDN akan kembali meningkat pada paruh kedua tahun 2006. Pada periode tersebut, jumlah proyek yang telah dilaksanakan mencapai 104 unit proyek, tetapi jika dibandingkan dengan tahun 2005, mengalami penurunan sebesar 100 unit proyek atau 51,40%.
Gambar Pertumbuhan Realisasi Investasi Domestik (PMDN) dan Asing (PMA) 1967 – 31 Juli 2006
Sumber: BKPM (2006)
Sementara itu, tingkat realisasi proyek penanaman modal asing (PMA) selama periode 1990 hingga 31 Juli 2006 terjadi pertumbuhan rata-rata 16,93%. Sedangkan tingkat realisasi nilai invesatsi dalam bentuk mata uang US$ telah terjadi pertumbuhan rata-rata selama periode tersebut mencapai 28,88%. Dalam kurun waktu tersebut, setelah terjadi krisis ekonomi 1997 telah terjadi peningkatan jumlah relaisasi proyek. Jumlah tertinggi proyek adalah pada tahun 2000, yakni sebesar 638 unit proyek dengan tingkat realisasi nilai investasi sebesar US$ 9,877 juta. Jumlah ini lebih kecil jika dibandingkan dengan tahun 2005 yang mencapai 909 unit proyek atau lebih besar 271 unit proyek. Adapun jumlah nilai investasi PMA sebesar US$ 8,914 juta.
Jika dilihat dari perbandingan antara jumlah dan nilai persetujuan rencana investasi dan realisasi investasi baik PMDN maupun PMA terdapat perbedaan yang relatif besar. Misalnya pada tahun 2004, telah disetujui rencana proyek investasi PMDN sebesar 201 unit proyek senilai Rp 44,5 triliun, tetapi yang terealisasi hanya 129 unit proyek senilai Rp 30,6 triliun. Terjadi kesenjangan antara persetujuan rencana pryek dengan realisasi proyek disebabkan oleh investor domestik dan asing masih khawatir untuk melakukan bisnis di Indonesia adalah meskipun kondisi perekomian nasional relatif sudah membaik.
Sebab lain adalah ketidakpastian kebijakan, korupsi (oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat), perizinan usaha, dan regulasi pasar tenaga kerja (Bank Dunia, 2004). Banyak studi menemukan bahwa pelaksanaan otonomi daerah sejak 2001 telah memperburuk iklim investasi di Indonesia (misal: Hofman, et al. 2003; SMERU, 2001; Ray, 2003, 2002). Masih rendahnya pelayanan publik, kurangnya kepastian hukum, dan berbagai peraturan daerah (perda) yang tidak probisnis diidentifikasi sebagai bukti iklim bisnis yang tidak kondusif. Pelayanan publik yang dikeluhkan terutama terkait dengan ketidakpastian biaya dan lamanya waktu berurusan dengan perizinan dan birokrasi.
Ini diperparah dengan masih berlanjutnya berbagai pungutan, baik resmi maupun liar, yang harus dibayar perusahaan kepada para petugas, pejabat, dan preman. Studi Kuncoro bersama Pusat Studi Asia Pasifik UGM (2004) menunjukkan masih adanya grease money dalam bentuk pungutan liar (pungli), upeti, dan biaya ekstra yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dari sejak mencari bahan baku, memproses input enjadi output maupun ekspor. Hasil studi tersebut menunjukkan lebih dari separuh responden berpendapat bahwa pungli, perizinan oleh pemerintah pusat dan daerah, kenaikan tarif (BBM, listrik, dan sebagainya) merupakan kendala utama yang dihadapi para pengusaha yang berorientasi ekspor. Rata-rata persentase pungli terhadap biaya ekspor setahun adalah 7,5 persen, yang diperkirakan sebesar Rp 3 triliun atau sekitar 153 juta dollar AS! Lokasi yang dituding rawan terhadap pungli terutama jalan raya (baca: jembatan timbang) dan pelabuhan.
Lingkungan perizinan Indonesia memang terus disorot. Survei UNCTAD (2004), dalam World Investment Report 2004, mencatat peringkat Indonesia berada dalam papan terbawah nomor dua dari 140 negara dilihat dari indeks kinerja investasi. Betapa tidak, waktu untuk mengurus izin investasi masih dikeluhkan terlalu lama, prosedur ekspor yang lambat dan kompleks sehingga membuat biaya logistik dan transpor menjadi tidak kompetitif, ditambah korupsi yang masih berlanjut di bea cukai dan pelabuhan.
Kestabilan makro ekonomi Indonesia yang ditandai dengan menurunnya tingkat suku bunga SBI, stabilnya nilai tukar rupiah, serta naiknya IHSG ternyata tidak serta merta memberi dampak positif terhadap ekonomi riil. Jika kondisi ini berlarut-larut maka ini akan mengakibatkan fenomena buble economy yang menjadi sebab awal berulangnya tragedi krisis 1997. Membaiknya indikasi makro yang tidak diikuti menggeliatnya sektor riil serta tidak berfungsinya secara baik peran bank sebagai lembaga intermediasi menandakan ada sesuatu yang salah dengan iklim investasi di negeri ini. Ukuran paling objektif dari tingkat kondusifitas iklim investasi adalah nilai bersih Penanaman Modal Asing (PMA) atau net cash flow Foreign Direct Investment.
Baru-baru ini Bank Dunia mempublikasikan laporannya yang berjudul Doing Business 2007: How to Reform tentang kemudahan menjalankan bisnis tahun 2006 yang menempatkan Indonesia di urutan 135 dari 170 negara di dunia. Ini berarti mengalami pemburukan dari tahun sebelumnya yaitu pada ururtan 131. Untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik Indonesia hanya menempati urutan 20 dari 23 negara dan hanya lebih baik dibanding Kamboja, Laos dan Timor-Leste. Kondisi tersebut jauh berbeda dengan Thailand, negara tetangga yang juga merasakan dampak krisis ekonomi 1997. Thailand menempati peringkat 18 untuk dunia dan 3 untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik setelah Singapura dan Hong Kong. Uniknya hantaman badai krisis tidak pernah membuat negeri gajah putih itu mengalami kasus negative cash flow atau capital flight seperti yang dialami Indonesia dari tahun 1998 sampai dengan 2003. Dan mungkin kondisi inilah yang menjadi salah satu resep mujarab segera pulihnya perekonomian Thailand dari krisis.
Tingkat investasi PMDN menurut sektor yang dikelompokkan menjadi sektor primer, sekunder, dan tersier. Pengelompokan ini diluar investasi sektor minyak dan gas bumi, perbankan, lembaga keuangan non bank, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan dalam rangka kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara, serta investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor, investasi porto folio (Pasar Modal) dan investasi rumah tangga. Data tabel di bawah ini tidak termasuk data 1 (satu) persetujuan rencana investasi PMDN yang dikeluarkan oleh BKPM bulan Juni 2005 di bidang industri pupuk & kimia dasar Organik yang bersumber dari minyak bumi dan gas bumi serta pembangkit tenaga listrik di Provinsi Papua dengan nilai rencana investasi Rp. 162,27 trilyun.
Data tahun 2002 s/d 2004 berubah dari data BKPM periode laporan Juni 2006 disebabkan bulan Juli 2006 BKPM menerima Surat Persetujuan Rencana Investasi yang diterbitkan oleh daerah. Adapun data sementara, termasuk persetujuan rencana investasi yang dikeluarkan oleh daerah yang diterima BKPM sampai dengan tanggal 31 Juli 2006.
Tabel Perkembangan Persetujuan Rencana Proyek (Ijin Usaha Tetap) PMDN Menurut Sektor 2001 – 31 Juli 2006
Sumber : BKPM (2006), 31 Juli 2006, Data diolah
Berdasarkan tabel di atas, menunjukkan perkembangan atau tren persetujuan investasi domestik (PMDN) menurut sektor primer, sekunder, dan tersier untuk tahun 2001 sampai dengan 31 Juli 2006. Untuk PMDN, total investasi domestik menunjukkan pertumbuhan yang positif pada tahun 2003 yaitu 19,9% dan tahun 2005 yang hanya mencapai 8,5%. Sedangkan tingkat pertumbuhan negatif total menurut sektor terjadi pada tahun 2001 yakni 27.4%, 2004 sebesar negatif 14.5%, dan tahun 2005 sebesar negatif 49,1%.
Jika ditinjau dari masing-masing sektor, sektor sekunder masih merupakan sektor yang favorit atau pilihan investor domestik dengan lebih dari 60% total PMDN yang diajukan pada sektor ini. Sub sektor yang menjadi favorit investor dalam negeri untuk sektor sekunder adalah industri kimia dan farmasi, industri makanan, serta industri kertas dan percetakan. Sumbangan sektor tersier dan primer relatif tetap masih rendah pada periode tersebut, yaitu masing-masing di bawah 30% dan 15%.
Tabel Perkembangan Persetujuan Rencana Investasi (Ijin Usaha Tetap) PMDN Menurut Sektor 2001 – 31 Juli 2006
Sumber : BKPM (2006), 31 Juli 2006, Data diolah
Pada tahun 2001 sub sektor industri kimia dan farmasi menumbang nilai invesatasi sebesar Rp 22, 38 triliun, industri makanan sebesar 12,23 triliun. Sedangkan sub sektor yang menyumbang paling rendah terhadap nilai total investasi sektor sekunder sebagai sektor favorit investor dalam negeri adalah instrumen kedokteran, presisi & optik dan jam yang hanya mencapai Rp 52,4 milyar. Dalam kurun waktu tersebut nilai tertinggi yang pernah dicapai rencana investasi sektor sekunder adalah pada tahun 2006 yang mencapai Rp 73,18 triliun. Sub sektor yang menyimbang terbesar pada tahun 2006 adalah industri kertas dan percetakan yang mampu mencapai Rp 43,58 triliun atau lebih dari 62%. Sementara sektor primer menjad penymbang terendah yaitu hanya mencapai Rp 5,58 triliun dan sektor tersier lebih besar dari sektor primer yakni Rp 8,13 triliun.
Sumber: BKPM (2006)
Berdasarkan kedua grafik di atas, tingkat realisasi jumlah ijin usaha tetap didominasi oleh sektor sekunder dengan tingkat kecenderungan yang relatif menurun selama periode 2001 – 2006. Ketiga sektor tersebut, memiliki kecenderungan pola yang relatif juga sama. Sektor primer tetap menjadi penyumbang terendah jika dibandingkan dengan sektor sekunder dan sektor tersier. Namun jika dilihat dari tingkat realisasi investasi dalam negeri, sektor sekunder juga masih tetap mendominasi total investasi sektoral. Bahkan konstribusi sektor ini mencapai lebih dari 70% dari total realisasi investasi sektoral di Indonesia.
Untuk meningkatkan agar investor domestik lebih yakin dan memiliki kepastian yang tinggi, maka pemerintah harus menjaga stabilitas ekonomi makro, mennetukan kebijakan yang pro bisinis, menekan tingkat korupsi, mengurangi beban biaya yang tidak jelas bagi pengusaha, serta memberikan insentif pajak bagi pengusaha atau investor dalam negeri dalam negeri. Bahkan rekomendasi dari hasil penelitian KPPOD (2005) untuk menjaga iklim investasi diperlukan peningkatan atau perbaikan pelayanan publik, lebih meningkatkan intensitas keterlibatan dunia usaha dan stakeholders lainnya dalam perumasan kebijakan publik, serta perbaikan infrastruktur sebagi pendukung kegiatan usaha.
Perkembangan persetujuan rencana investasi PMA menurut sektor selama periode 2001 – 31 Juli 2006, menunjukkan tingkat pertumbuhan yang negatif, kecuali pada tahun 2005 yaitu bertumbuh 33.4% dengan jumlah proyek sebanyak 1,648 unit proyek yang disetujui. Pertumbuhan total sektor negatif terjadi pada tahun 2002 yakni sebesar -9,78%. Penurunan ini diakibatkan oleh turunnya persetujuan rencana investasi seluruh sektor pada tahun tersebut. Sedangkan untuk tahun 2003 dan 2004 masing-masing tumbuh negatif sebesar 0.32% dan 0.6%. Sektor primer menyumbang pertumbuhan negatif sebebar 12% dan sektor sekunder hanya menyumbang penurunan pertumbuhan sebesar 5%.
Investor asing lebih tertarik untuk menanamkan modalnya di sektor tersier. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan positif sektor tersier pada tahun 2003, yakni tumbuh sebesar 2%. Sedangkan pada tahun 2004 hanya sektor primer yang memiliki pertumbuhan positif sebesar 50% atau meningkat sebanyak 18 unit proyek PMA. Semnetara, pada tahun 2006, seluruh sektor juga mengalami pertumbuhan yang negatif. Hal ini disebabkan data yang diperoleh dari BKPM belum memasukkan persetujuan rencana investasi pada semester kedua tahun 2006 (data hingga 31 Juli 2006).
Tabel Perkembangan Persetujuan Rencana Investasi PMA Menurut Sektor 2001 – 31 Juli 2006
Sumber : BKPM (2006), 31 Juli 2006, Data diolah
Jika investor dalam negeri lebih tertarik untuk berinvestasi pada sektor sekunder. Namun, investor asing (PMA) lebih tertarik menanamkan modalnya pada sektor tersier. Karena investor asing lebih suka terhadap penggunaan teknologi mutakhir dan skill dari tenaga kerja. Sehingga menyebabkan perubahan pola sumbangan atau kontribusi PMA untuk sektor primer, sekunder, dan tersier. Tingkat kontribusi sektor tersier terhadap total persetujuan rencana investasi rata-rata 60% selama periode 2001 – 2006 (antara 50% hingga 67%). Sementara kontribusi sektor sekunder terhadap total sektor rata-rata 27,5% atau antara 22% hingga 32%. Sedangkan kontribusi sektor primer hanya dibawah 9%.
Kontribusi sub sektor tersier PMA yang paling besar untuk mendorong perekonomian nasional adalah perdagangan dan reparasi yang mendominasi lebih dari 50%. Sedangkan yang kontribusi terendah terhadap sektor tersier adalah sub sektor listrik, gas, dan air. Muncul pertanyaan, mengapa subsektor ini kurang menarik investor asing? Sebenarnya banyak investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di industri ini, tetapi karena ada Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 2 dan ayat 3, yang menghambat masukknya investor asing di sektor ini.
Tabel Share Persetujuan Rencana Investasi PMA Menurut Sektor Terhadap Total 2001 – 31 Juli 2006
Sumber : BKPM (2006), 31 Juli 2006, Data diolah
Berdasarkan tabel di bawah ini, tingkat pertumbuhan realisasi investasi PMA menurut sektor bila dilihat rata-ratanya adalah bertumbuh positif. Pertumbuhan positif terjadi pada tahun 2003 yakni 113.6%, tahun 2005 sebesar13.6%, dan tahun 2006 sebesar 71.8%. Sedangkan pertumbuhan negatif realisasi investasi PMA menurut sektor terjadi pada tahun 2002 yang mencapai 56.7% dan tahun 2004 yang mencapai minus 19.75%.
Untuk sektor tersier yang menjadi promadona investor asing pada tahun 2001 telah terealisasi senilai US$ 11,92 juta. Namun, pada tahun 2002 mengalami penurunan sebesar 40.97% dengan nilai realisasi investasi sebesar US$ 11,07 juta, selanjutnya pada tahun 2003 meningkat 16.55% dengan nilai investasi sebesar US$ 11,78 juta. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2004 yaitu mencapai lebih dari 100% dengan jumlah niali investasi sebesar US$ 17,49 juta. Sedangkan hingga pertengahan tahun 2006, nilai investasi untuk sektor tersier baru mencapai US$ 8,13 juta.
Untuk sektor sekunder pertumbuhan realisasi nilai investasi PMA menurut sektor tertinggi terjadi 2006 yaitu bertumbuh 173 % dari tahun sebelumnya. Jumlah nilai realisasi investasi pada tahun tersebut mencapai US$ 73,18 juta. Sedangkan pertumbuhan negatif sektor sekunder terjadi pada tahun 2002 dan 2004, yaitu masing-masing bertumbuh minus 63,31% dan minus 44.66%. Untuk sektor primer pertumbuhan tertinggi dicapai pada tahun 2005, yakni bertumbuh sebesar 111.54% dan nilai realisasi investasi pada tahun 2005 adalah sebesar US$ 5,47 juta.
Tabel Perkembangan Realisasi Investasi (Ijin Usaha Tetap) PMA Menurut Sektor 2001 – 31 Juli 2006 (US$ juta)
Sumber : BKPM (2006), 31 Juli 2006, Data diolah
Investor asing (PMA) lebih tertarik menanamkan modalnya pada sektor tersier dan sekunder, mengakibatkan sektor tersier dan sekunder ini menjadi pilihan terbaik untuk mengembangkan modalnya di Indonesia. Untuk itu, pemerintah harus memberikan pelayanan optimal dan kepastian berinvestasi yang terbebas dari persoalan politik dan kemanan. Para investor hanya ingin berinvestasi dengan aman. Mengingat kontribusi nilai investasi sektor dalam bentuk mata uang dolar sangatlah besar. Berdasarkan tabel di bawah ini, tingkat kontribusi sektor tersier terhadap total realisasi investasi PMA menurut sektor rata-rata 45% selama periode 2001 – 2006 (antara 34% hingga 62%).
Sementara kontribusi sektor sekunder terhadap total sektor mengalami peningkatan selama tahun 2001 – 2006. Bahkan pada tahun 2005 dan 2006 sudah mendekati nilai investasi tersier. Kontribusi sub sektor tersier PMA yang paling besar untuk mendorong perekonomian nasional adalah perdagangan dan reparasi yang mendominasi lebih dari 50%. Sedangkan yang kontribusi terendah terhadap sektor tersier adalah sub sektor listrik, gas, dan air.
Tabel Share Realisasi Investasi PMA Menurut Sektor Terhadap Total 2001 – 31 Juli 2006(US$ juta)
Sumber : BKPM (2006), 31 Juli 2006, Data diolah
Faktor-Faktor Yang Mendorong Investasi.
Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Masalah Freeport dan lamanya pemerintah mengambil keputusan dalam kasus Exxon di Cepu baru-baru ini juga sangat mempengaruhi iklim berinvestasi jangka panjang di Indonesia.
Di dalam suatu laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi (World Bank, 2005a), diantara faktor-faktor tersebut, stabilitas ekonomi makro, tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi merupakan empat faktor terpenting. Walaupun sedikit berbeda dalam peringkat kendala investasi antar negara, hasil survei Bank Dunia tersebut didukung oleh hasil survei tahunan mengenai daya saing negara yang dilakukan oleh The World Economic Forum (WEF) yang hasilnya ditunjukkan di dalam laporan tahunannya, The Global Competitiveness Report. Seperti yang dapat dilihat di gambar 6 tentang ”Faktor-faktor Penghambat Bisnis dalam The Global Competitiveness Report 2005-2006” berdasarkan persentase dari responden, ternyata tiga faktor penghambat bisnis yang mendapatkan peringkat paling atas adalah berturut-turut birokrasi yang tidak efisien, infrastruktur yang buruk, dan regulasi perpajakan.
Hasil survei dari JETRO mengenai faktor-faktor penghambat pertumbuhan bisnis atau investasi di sejumlah negara di Asia menunjukkan gambaran yang sedikit berbeda. Seperti yang dapat dilihat di tabel 8, untuk Indonesia (ID), faktor paling besar adalah upah buruh yang makin mahal, disusul dengan sistem perpajakan yang sulit dan rumit. Di Malaysia (M) dan Singapura, upah yang mahal juga merupakan permasalahan paling besar yang dihadapi pengusaha. Di Thailand (Th) faktor terbesar adalah prosedur perdagangan yang rumit, sedangkan di Filipina (F), Vietnam (V), dan India (In), faktor terbesar adalah kondisi infrastruktur yang buruk.
Masalah perburuan, mulai dari tingkat upah yang terus meningkat akibat penerapan kebijakan upah minimum, kualitas sumber daya manusia yang rendah, termasuk rendahnya penguasaan atas teknologi, hingga hubungan industrial memang belakangan ini semakin memperburuk keunggulan komparatif Indonesia dalam tenaga kerja. Survei yang dilakukan lPEM di tahun 2005 menunjukkan bahwa biaya untuk mengatasi masalah tenaga kerja mencapai 5% dari biaya produksi tahunan. Dari sekitar 600 responden, 12,6% menyatakan mengalami perselisihan dalam penentuan upah, 5.8% mengalami masalah dengan jaminan sosial tenaga kerja, dan 8,4% mengalami masalah dengan serikat buruh (ISEI, 2006).
Hubungan industrial merupakan salah satu titik rawan dalam daya saing perekonomian Indonesia. Walaupun secara kuantitas jumlah pemogokan di Indonesia tidak menunjukkan peningkatan yang drastis sejak reformasi dimulai tahun 1998 lalu tetapi risiko ketidakpastian yang ditimbulkan oleh hubungan industrial yang adversial merupakan faktor penting yang membuat daya tarik Indonesia untuk investasi menjadi rendah dibandingkan Cina dan Vietnam. Sering terjadinya pemogokan akan membuat kerugian besar bagi perusahaan-perusahaan, dan hal ini jelas akan menghilangkan niat calon investor untuk berinvestasi di Indonesia.
Gambar Faktor-faktor Penghambat Bisnis dalam The Global Competitiveness Report 2005-2006.
Sumber: WWF (2005) dalam Tulus Tambunan (2006)
Tabel Problem Utama dalam Investasi (%)
Sumber: Jetro (dikutip dari Kompas, 2006) dalam Tulus Tambunan (2006).
Faktor lain yang tidak kalah serius adalah peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah. Keterbatasan anggaran dan lemahnya prioritas kebijakan menyebabkan timbulnya tekanan untuk meningkatkan penerimaan pajak dan retribusi daerah tanpa memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional. Pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar propinsi atau antar kabupaten hanya merupakan satu contoh. Peningkatan hambatan birokrasi perijinan dan beban retribusi baru yang diundangkan berbagai pemerintah daerah dengan alasan untuk meningkatkan penerimaan asli daerah (PAD) menimbulkan peningkatan biaya bisnis, yang berarti juga memperbesar risiko kerugian bagi investasi, dan merupakan lahan subur bagi praktek-praktek korupsi.
Hasil survei LPEM di tahun 2005 menunjukkan penurunan biaya informal yang harus dibayarkan perusahaan-perusahaan yang telah beroperasi kepada aparat pemerintah daerah dari sekitar 10,8% di tahun 2001 menjadi 6,4% di tahun 2005. Walaupun demikian, untuk pemain yang baru masuk entry cost tetap tinggi yaitu sekitar 9% dari nilai modal awal. Biaya-biaya ini sebagian besar digunakan untuk mendapatkan ijin lokasi dan AMDAL (ISEI, 2006).
Mahalnya memulai bisnis memang merupakan salah satu penyebab memburuknya iklim investasi di Indonesia. Suatu laporan dari Bank Dunia di tahun 2005 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara paling mahal, baik dalam arti biaya maupun jumlah hari dalam melakukan bisnis. Seperti yang ditunjukkan di Tabel 3, untuk mengurus semua perizinan usaha, seorang pengusaha memerlukan sekitar 151 hari, dan besarnya biaya dan modal minimum yang diperlukan berkisar sekitar, masing-masing 130,7% dan 125,6% dari pendapatan per kapita di Indonesia. Banyaknya izin dan jumlah hari yang diperlukan di Indonesia juga ditunjukkan oleh hasil penelitian dari LPEM-FEUI tahun 2006.
Tabel Indikator Kemudahan Melakukan Bisnis di Beberapa Negara
Catatan: = sebagai % dari pendapatan per kapita.
Sumber: World Bank (2005), Purwanto (2006), Tulus Tambunan (2006)
Perihal pemborosan atau efisiensi dalam pengeluaran pemerintah, yakni apakah pemerintah menyediakan barang-barang dan jasa-jasa kebutuhan pokok bagi dunia usaha yang tidak disediakan oleh pasar, termasuk infrastruktur dasar, posisi Indonesia juga memburuk. Dalam hal beban yang harus ditanggung oleh pelaku bisnis dari regulasi-regulasi pemerintah pusat, yakni dalam memenuhi persyaratan-persyaratan administrasi berkaitan dengan perizinan, pelaporan, dsb.nya, sebelumnya Indonesia berada pada posisi yang relatif baik dari 104 negara menjadi lebih buruk. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa distorsi pasar domestik semakin besar dalam satu tahun terakhir ini akibat regulasi-regulasi pemerintah pusat.
Untuk tingkat birokrasi, peringkat Indonesia sangat rendah, yang memberi kesan bahwa tingkat efisiensi dari birokrasi di Indonesia sangat rendah dan ini merupakan salah satu sumber penting dari iklim bisnis yang distortif in Indonesia. Faktor lainnya yang juga sangat berpengaruh dalam arti bisa merupakan insentif atau disinsentif bagi keinginan untuk melakukan bisnis atau investasi adalah pajak, dan untuk ini Indonesia relatif baik dan dalam satu tahun terakhir sedikit membaik, yang artinya secara relatif dibandingkan banyak negara lain di dalam sampel, pajak di Indonesia bukan merupakan sumber distortif yang besar terhadap iklim bisnis.
Dalam hal pembayaran ekstra tidak tercatat atau terdokumentasi atau penyuapan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ekspor dan impor, dan pemakaian utilitas publik, peringkat Indonesia juga sangat rendah, dan hal ini bisa merupakan salah satu masalah yang harus dihilangkan untuk mencapai efektivitas dari kebijakan-kebijakan dari pemerintah selama ini yang bertujuan memulihkan kegiatan usaha dan meningkatkan investasi di Indonesia. Mungkin untuk negara-negara yang sudah lama melakukan investasi di Indonesia jadi sudah sangat kenal keadaan di Indonesia atau untuk perusahaan-perusahaan multinacional dengan kekayaan perusahaan yang sangat besar kondisi seperti ini tidak menjadi masalah serius sampai menghambat investasi mereka di dalam negeri. Tetapi untuk perusahaan-perusahaan skala menengah dan dari negara-negara baru, kondisi seperti ini bisa menakutkan atau membuat pemilik modal menjadi ragu akan kemungkinan bisa mendapatkan keuntungan jika berinvestasi di Indonesia.
Hal yang lebih menarik adalah jika posisi Indonesia dalam kelembagaan publik dibandingkan dengan posisi dari negara-negara ASEAN lainnya, seperti yang ditunjukkan di Tabel indikator kemudahan investasi. Dapat dilihat bahwa untuk sejumlah indikator di tabel tersebut, posisi Indonesia relatif buruk di dalam kelompok ASEAN, walaupun bukan yang terburuk. Hal ini menandakan bahwa kelembagaan publik di Indonesia secara relatif dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya tidak kondusif bagi kegiatan bisnis/investasi. Untuk beberapa indikator Indonesia bersama-sama dengan Filipina dan Vietnam termasuk negara anggota yang kelembagaan publiknya buruk. Malaysia dan Singapura termasuk yang bagus, terutama Singapura yang untuk semua indikator tersebut nomor satu (1) di dalam kelompok ASEAN. Bahkan untuk beberapa indikator, peringkat negara pulau ini paling tinggi dari 104 negara yang disurvei. Melihat ini, tidak heran kenapa Singapura selama ini merupakan salah satu negara di dunia yang sangat menarik bagi PMA.
Faktor lainnya yang juga sangat bertanggung jawab terhadap memburuknya kondisi investasi di Indonesia adalah kondisi infrastruktur, tidak hanya dalam kuantiítas yang terbatas dibandingkan volume mobilisasi manusia dan barang, tetapi juga dalam koalitas yang buruk dari infrastruktur yang sudah ada, khususnya jalan raya. Kombinasi dari kedua aspek ini tentu sangat menghambat kelancaran produksi dan perdagangan di dalam negeri maupun kegiatan ekspor, yang selanjutnya berarti beban biaya bagi perusahaan-perusahaan. Suatu laporan dari Bank Dunia (World Bank, 2005b) menunjukkan buruknya kinerja infrastruktur di Indonesia, bahkan sangat buruk di dalam kelompok ASEAN. Untuk jaringan telepon tetap, posisi Indonesia berada pada peringkat terbawah diantara 12 negara ASEAN. Juga untuk kelistrikan, kondisi Indonesia nomor 2 dari bawah. Secara umum, dapat dikatakan bahwa dari sisi infrastruktur, Indonesia merupakan negara ASEAN yang sangat tidak menarik bagi investasi.
Laporan dari WEF (2004, 2005) juga menunjukkan hal yang sama, dimana kualitas infrastruktur secara keseluruhan periode 2004-2005, Indonesia berada pada peringkat ke 44 dari 104 negara yang masuk di dalam sampel, dan posisinya bertambah buruk untuk periode 2005-2006 yang menurun ke 66 dari 117 negara. Sementara kualitas infrastruktur, posisi Indonesia jika dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya untuk kualitas keseluruhan menunjukkan kondisi Indonesia juga buruk; bahkan sangat buruk untuk misalnya kualitas telepon/fax dan jumlah jaringan telepon per 1000 penduduk.
Aghion, P., R. Burgess, S. Redding, dan F. Zilibotti. 2003. The Unequal Effects of Liberalization: Theory and Evidence from India. research paper, London: Center for Economic Policy Research.
Ahluwalia, M. 2002. Economic Reforms in India Since 1991: Has Gradualism Worked?. Journal of Economic Perspective, 16(3): 67-88.
Chen, S. dan Y. Wang. 2001. China’s Growth and Poverty Reduction: Trends between 1990 and 1999. World Bank Policy Research Working Paper Series 2651, Washington, D.C.: World Bank.
JETRO. 2003. Japanise-Affiliated Manufacturers in Asia: Survey 2002. Maret
Hofman, B., Kai, K. dan Gunther, G.S. 2003. Cooruption and Decentralization. International Conference on Decentralization and its Impact on Local Government and Society. Mei. 15 – 17.
ISEI. 2006. Rekomendasi Kebijakan Pemerintah. Langkah-Langkah Strategis Pemulihan Ekonomi Indonesia. Jakarta: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia.
Kompas. 2006. Daya Saing Industri Kritis Tanpa Perbaikan. Bisnis & Keuangan, Rabu, 15 Februari, hal. 19.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Reformasi Iklim Investasi New. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0602/04/Fokus/2409466.htm Kompas, Sabtu 4 Februari 2006
_________ 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Erlangga. Jakarta
KPPOD. 2004. Peluang dan Daya Tarik Investasi menurut Persepsi Dunia Usaha. KPPOD-Asia Fondation. Jakarta
_________. 2005. Peluang dan Daya Tarik Investasi menurut Persepsi Dunia Usaha. KPPOD-Asia Fondation. Jakarta
LPEM dan JETRO. 2003. Impediments to Doing Bussines in Indonesia
Porter, M.E. 1998a. The Competitive Advantage of Nations: With a New Introduction. New York: The Free Press.
Porter, M.E. 1998b. On Competition. Boston: Harvard Business School Press.WEF (2004), The Global Competitiveness Report 2004-2005, Oxford University Press.
Purwanto, Antonius. 2006. Pengurusan Izin Rumit dan Mahal. Kompas, Bisnis & Keuangan, Selasa, 21 Februari, halaman 21.
Qian, Y. 2003. How Reform Worked in China. dalam D. Rodrik (ed.), In Search of Prosperity: Analytic Narratives on Economic Growth, Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Rodrik, D., A. Subramanian, dan F. Trebbi. 2002. Institutions Rule: The Primacy of Institutions over Geography and Integration in Economic Development. Cambridge, Mass: Harvard University Press.
Stern, N.H. 2002. A Strategy for Development. Washington, D.C.: World Bank.
SMERU. 2001. Regional Autonomy and Business Climate: Three Kabupaten Case Study from North Sumatran. Jakarta. Mei (Mimeo)
Ray, D. 2002. Note on Domestoc Trade and Decentralization. Unpublished Paper for Economic Growth. Jakarta Desember.
_______. 2003. Regulatory Reform and Local Government in Indonesia. Paper presented at the 5th IRSA International Converence, 18 – 19 Juli 2003. Bandung Indonesia.
Tambunan, Tulus. 2006. Iklim Investasi di Indonesia: Masalah, Tantangan, dan Potensi. Kadin Indonesia-Jetro. www.kadin-indonesia.or.id
Siaran Pers No.8/59/PSHM/Humas. Prospek Perekonomian Indonesia 2007: Optimis semakin baik. Jakarta, 22 November 2006. www.bi.or.id
www.bkpm.go.id/ - Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia
http://www.worldbank.org/data - facts and figures indikator pembangunan
www.unctad.org/" - sejumlah laporan tentang kecenderungan investasi global dan regional,
www.oecd.org/ - kecenderungan investasi asing global, country investment guides
www.opic.gov/" www.opic.gov/ - Outline dari berbagai program asuransi dan pendanaan yang tersedia bagi perusahaan-perusahaan AS yang berinvestasi di luar negeri.
UNCTAD (2004), World Investment Report 2004, New York & Geneva: UN.
World Bank (2004), Doing Business in 2005: Removing Obstacles to Growth, Washington, D.C.
World Bank (2005a), Iklim Investasi yang Lebih Baik bagi Setiap Orang, Laporan Pembangunan Dunia 2005, The World Bank, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
World Bank (2005b), “Averting an Infrastructure Crisis”, Infrastructure Policy Brief, January, Jakarta
0 komentar:
Post a Comment