Pada masa sebelum datangnya Islam, pusat-pusat pemerintahan kerajaan di Indonesia
umumnya memiliki tanah lapang yang luas (alun-alun). Di empat penjuru tanah lapang itu
terdapat bangunan-bangunan penting, seperti keraton, tempat pemujaan, dan pasar. Jika
dilihat dari sudut arsitektur, masjid kuno beratap tingkat (meru) misalnya beratap dua yaitu
masjid Agung Cirebon, masjid Katangka di Sulawesi, masjid Muara Angke, Tambora dan
Marunda di Jakarta; masjid beratap tiga yaitu masjid Demak, Baiturrahman Aceh, masjid
Jepara; dan masjid beratap lima yaitu masjid Agung Banten. Masjid kuno Indonesia yang
mempunyai atap bertingkat telah mengundang pendapat beberapa ahli yang mengatakan
bahwa hal itu merupakan kelanjutan dari seni bangunan tradisional Indonesia lama. Ada
beberapa bukti yang mendukung pendapat itu, di antaranya sebagai berikut.
1. Bangunan-bangunan Hindu di Bali yang disebut Wantilan atapnya juga bertingkat.
2. Relief yang ada di candi-candi pada masa Majapahit juga terdapat ukiran yang menggambarkan
bangunan atap bertingkat.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi akulturasi antara seni bangun
tradisional Indonesia dengan seni bangun. Dalam seni ukir dan lukis terjadi akulturasi antara
seni ukir dan seni lukis Islam dengan seni lukis dan seni ukir tradisional Indonesia yang dapat
kita jumpai pada bangunan masjid-masjid kuno dan keraton. Ukir-ukiran yang biasa dipahatkan
pada tiang-tiang, tembok, atap, mihrab, dan mimbarnya dibuat dengan pola makara dan
teratai.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul pula seni kaligrafi, yaitu seni melukis indah
dengan huruf Arab. Dalam seni tari dan seni musik juga terjadi akulturasi yakni beberapa
upacara dan tarian rakyat. Di beberapa daerah ada jenis tarian yang berhubungan dengan
nyanyian atau pembacaan tertentu yang berupa selawat atau slawat kompang. Bentuk-bentuk
tarian itu misalnya permainan dabus dan seudati. Permainan dabus adalah suatu jenis tarian
atau pertunjukan kekebalan terhadap senjata tajam dengan cara menusukkan benda tajam
tersebut pada tubuhnya. Tarian ini diawali dengan nyanyian atau pembacaan Alquran atau
selawat nabi. Permainan ini berkembang di bekas-bekas pusat kerajaan seperti Banten,
Minangkabau, Aceh. Adapun seudati adalah seni tradisional rakyat Aceh yang berupa tarian
atau nyanyian. Pertunjukan dilakukan oleh sembilan atau sepuluh orang pemuda dengan
memukul-mukulkan telapak tangan ke bagian dada. Dalam seudati pemain juga menyanyikan
lagu-lagu tertentu yang isinya berupa selawat (pujian) kepada nabi. Selain seni tari, juga
berkembang seni musik yang berupa pertunjukan gamelan. Pertunjukan ini biasa dilakukan
pada upacara Maulud, yaitu peringatan untuk menghormati kelahiran Nabi Muhammad saw.
Pada peringatan ini, selain dinyanyikan pujian-pujian kepada Nabi Muhammad saw. juga
diadakan pertunjukan gamelan dan pencucian benda-benda keramat. Upacara ini biasanya
dilakukan di bekas pusat kerajaan, seperti Yogyakarta dan Surakarta yang disebut Gerebeg
Maulud. Upacara semacam ini di Cirebon biasa disebut Pajang Jimat. Upacara ini biasa
disampaikan dengan gemelan yang disebut Sekaten.
Masuknya kebudayaan Islam juga berpengaruh besar terhadap seni bangunan makam.
Bangunan makam pada orang yang meninggal terbuat dari batu bata tembok yang disebut jirat
atau kijing. Di atas jirat itu, khususnya bagi orang-orang penting didirikan sebuah rumah yang
disebut bangunan makam berupa jirat dan cungkup yang biasanya dihiasi dengan seni kaligrafi
(seni tulisan Arab) yang indah. Makam tertua di Indonesia yang bercorak Islam ialah makam
Fatimah binti Maimun di Leran (tahun 1082) dan diberi cungkup. Dinding cungkup diberi
hiasan bingkai-bingkai mendatar mirip model hiasan candi. Makam lain yang penting, antara
lain makam Sultan Malik al Saleh di Samudra Pasai, makam Maulana Malik Ibrahim, dan
makam para wali dan sultan yang lain.
0 komentar:
Post a Comment