Friday, November 29, 2013

Research Gap hubungan orientasi pasar dengan kinerja pemasaran.

Research Gap Hubungan Orientasi Pasar Dengan Kinerja Pemasaran : Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan apakah orientasi pasar menghasilkan kinerja organisasi yang unggul (Kara, 2005). Beberapa hasil penelitian telah membuktikan adanya hubungan yang kuat antara orientasi pasar dengan kinerja (Matsuno et al., 1994, Greenley, 1995; Ghosh et al., 1994; Speed and Smith, 1993), sedangkan hasil penelitian lainnya tidak mendukung adanya hubungan positif antara orientasi pasar dengan kinerja organisasi (Han et al., 1998; Jaworski dan Kohli, 1993). Namun pada umumnya hasil penelitian yang menguji hubungan kausal antara orientasi pasar dengan kinerja organisasi memberikan kesimpulan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh terhadap kinerja organisasi (Bhuian, 1998; Deshpande et al., 1993; Harris dan Ogboma, 2001; Jaworski dan Kohli, 1993; Matzuno dan Mentzer, 2000; Pitt et al., 1996; Selnes et al., 1996). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Ellis (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Market Orientation and Performance: A Meta-Analysis and Cross-National Comparisons”, menyatakan bahwa bukti kuantitatif yang diperoleh dari meta-analisis dari 56 penelitian (58 sampel) yang dilakukan di 28 negara membuktikan bahwa pada umumnya orientasi pasar menentukan kinerja perusahaan. Temuan Ellis (2006) mendukung temuan Kirca et al., (2005) yang melakukan penelitian dengan judul “Market Orientation: A Meta-Analytic Review and Assesment of Its Antecedents and Impact on Performance”. Penelitian Kirca (2005) ini menyatakan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh terhadap kinerja organisasi secara keseluruhan. Namun demikian penelitian yang menguji hubungan antara orientasi pasar dengan kinerja organisasi dengan menggunakan indikator kinerja pemasaran seperti market share, pertumbuhan penjualan, kepuasan konsumen dan loyalitas konsumen masih memberikan hasil yang kontradiksi.

Jain dan Bhatia (2007) melakukan penelitian terhadap 600 chief executive officers, chief marketing officer, atau senior officers pada perusahaan manufaktur di New Delhi India diperoleh temuan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan penjualan, market share dan kepuasan konsumen. Sedangkan Castro et al., 2005 melakukan penelitian terhadap 319 lembaga keuangan di dua propinsi di Spanyol, dari penelitiannya diperoleh bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh terhadap kualitas pelayanan, sedangkan kualitas pelayanan mempengaruhi kepuasan konsumen. Kirca et al., (2005) yang melakukan meta-analisis terhadap semua temuan dalam literatur orientasi pasar. Penelitian Kirca (2005) dilakukan dengan menggunakan dua tahap penelitian, yaitu: tahap pertama dilakukan analisis bivarite terhadap ringkasan kuantitatif berkaitan dengan konsekuensi dari orientasi pasar, tahap kedua dilakukan analisis multivariate secara keseluruhan penelitian untuk mengidentifikasi signifikansi anteseden orientasi pasar dan proses variabel yang memediasi hubungan antara orientasi pasar dengan kinerja. Penelitian Kirca et al., (2005) ini juga memperoleh temuan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh terhadap loyalitas konsumen.

Perusahaan yang memiliki tingkat orientasi pasar yang tinggi akan memiliki kinerja pemasaran yang tinggi. Hal ini karena perusahaan yang memiliki derajat orientasi pasar yang tinggi akan memiliki keunggulan kompetitif dalam hal; kualitas produk, kualitas pelayanan, inovasi produk dan biaya (Sittimalakorn dan Hart, 2004). Sedangkan Chang dan Chen (1998) menyatakan bahwa perusahaan yang telah menerapkan orientasi pasar akan dapat lebih memberikan pelayanan yang lebih baik sehingga dapat memuaskan pelanggannya dan dapat memperoleh keuntungan bisnis yang lebih tinggi. 

Beberapa penelitian yang lain memberikan hasil yang berbeda yaitu Jaworski dan Kohli (1993) dengan penelitiannya yang berjudul “Market Orientation: Antecedent and Consequences” dalam penelitian tersebut Jaworski dan Kohli (1993) menggunakan dua sampel penelitian, dengan ukuran sampel 222 Strategi Bisnis Unit dan 230 manajer di Amerika Serikat. Hasil penelitiannya baik pada sampel satu maupun pada sampel dua menyatakan bahwa orientasi pasar tidak memiliki pengaruh terhadap market share. Penelitiannya yang dilakukan oleh Harris, (2001) terhadap 241 manajer di Inggris, dengan menggunakan indikator kinerja pemasaran pertumbuhan penjualan, memberikan kesimpulan bahwa orientasi pasar tidak memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan penjualan yang diukur secara subyektif maupun secara obyektif. Penelitian lain yang dilakukan oleh Deshpande et al., (2000) juga memperoleh temuan bahwa orientasi pasar tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dan market share. Penelitian Deshpande et al., (2000) ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pelham (1997) yang menyatakan bahwa orientasi pasar tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan penjualan dan market share. Penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan oleh Selnes et al., (1996) yang menyatakan bahwa orientasi pasar tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap market share.

Baker dan Sinkula (2005) melakukan telaah pustaka terhadap hasil-hasil penelitian empiris yang menguji pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja produk baru, profitabilitas dan market share dalam penelitiannya yang berjudul “Market Orientation and the New Product Paradox”. Telaah pustaka yang dilakukan oleh Baker dan Sinkula (2005) tersebut dibatasi pada: (1) artikel penelitian yang diterbitkan setelah tahun 1990, (2) hanya penelitian yang menguji kinerja produk baru, profitabilitas dan market share sebagai variabel tergantung, (3) hanya dari 55 jurnal diseluruh dunia yang telah dirangking oleh Theoharakis and Hirst (2000). Hasil telaah pustaka tersebut menyatakan bahwa 16 dari 17 (94 persen) penelitian empiris membuktikan adanya pengaruh positif orientasi pasar terhadap kinerja produk baru, akan tetapi hanya 18 dari 27 (33 persen) hasil penelitian yang membuktikan adanya pengaruh positif orientasi pasar terhadap profitabilitas, dan hanya 4 dari 12 (33 persen) penelitian empiris yang berhasil membuktikan adanya pengaruh positif orientasi pasar terhadap kinerja pemasaran. Narver dan Slater (1998) menyatakan bahwa meskipun hasil penelitian tentang hubungan antara orientasi pasar dengan kinerja masih memberikan hasil yang berbeda-beda, tetapi penelitian tentang pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja masih menarik dilakukan untuk kepentingan di bidang strategi. Berdasarkan uraian di atas terlihat jelas bahwa penelitian yang bertujuan untuk menguji pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja pemasaran masih menghasilkan temuan yang saling kontradiksi.

Research Gap hubungan orientasi pasar dengan inovasi.
Hasil penelitian tentang pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja pemasaran masih banyak memberikan hasil yang berbeda, akan tetapi para ahli dan praktisi terus meyakini bahwa orientasi pasar berpengaruh terhadap kinerja perusahaan (Agarwal, et al., 2003). Akan tetapi keyakinan ini disertai dengan peningkatkan keragu-raguan, misalnya Deshpande, Farley, Webster (1993) menyatakan bahwa barangkali yang menyebabkan orientasi pasar berpengaruh terhadap kinerja organisasi adalah inovasi, tetapi apakah orientasi pasar membantu meningkatkan inovasi pasar belum jelas (Han, et al., 1998). Disamping itu Han, et al., (1998) juga menyatakan bahwa adanya rantai variabel yang hilang antara orientasi pasar dengan kinerja pemasaran, sehingga Han, et al., (1998) menekankan perlunya penelitian lebih jauh mengenai peranan inovasi untuk menghasilkan kinerja yang baik, khususnya mengenai inovasi teknis dan inovasi administratif serta bagaimana implementasinya terhadap kinerja pemasaran.

Beberapa penelitian yang menguji tentang hubungan kausal antara orientasi pasar dengan inovasi juga masih memberikan hasil yang saling berbeda. Han et al., (1998) melakukan penelitian terhadap 134 bank di wilayah Amerika Serikat bagian Barat-Tengah, memperoleh temuan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh positif terhadap inovasi baik inovasi teknis maupun inovasi administratif. Temuan Han et al., (1998) didukung oleh Vasquez et al., (2001) dalam penelitiannya yang berjudul “Market Orientation, Inovation and Competitive Strategies in Industrial Firm”, memperoleh temuan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh positif terhadap budaya inovatif perusahaan dan budaya inovatif perusahaan memiliki pengaruh terhadap derajat inovasi perusahaan, disamping itu dalam penelitian ini juga diperoleh temuan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh terhadap keinovatifan produk baru. Agarwal et. al., (2003) melakukan penelitian terhadap 201 General Manajer Hotel bertaraf internasional di Amerika Serikat diperoleh temuan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh positif terhadap inovasi, inovasi ini akan mendorong tercapainya kinerja subyektif dalam perusahaan, yang pada gilirannya akan mendorong tercapainya kinerja obyektif dalam perusahaan, dengan demikian maka perusahaan yang memiliki derajat orientasi pasar yang tinggi akan lebih inovatif dibandingkan dengan pesaingnya. Penelitian Agarwal et al., (2003) juga didukung oleh Kirca et al., (2005) yang menyatakan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh positif terhadap keinovasian perusahaan. Mavondo et al., (2005) dalam penelitiannya yang dilakukan di Australia dengan responden para pengusaha yang bergerak dalam teknologi maju, penyedia jasa profesional dan industri rumah sakit dengan responden sebanyak 227 diperoleh temuan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh positif terhadap inovasi produk, inovasi administratif dan inovasi proses. Tajeddini et al., (2006) yang melakukan penelitian pada usaha kecil dan menengah yang bergerak dalam usaha pembuatan jam tangan di Swiss juga menemukan bahwa terdapat pengaruh positif orientasi pasar terhadap inovasi. Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian yang dilakukan oleh Lado (2001) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara orientasi pasar dengan derajat inovasi dan kinerja inovasi, baik pada perusahaan Asuransi di Uni Eropa maupun di Amerika. 

Beberapa penelitian di atas telah mampu menjelaskan dengan tegas mengenai hubungan kausal antara orientasi pasar dengan inovasi. Namun beberapa penelitian lainnya memberikan temuan yang berbeda. Verhees (2004) melakukan penelitian pada 152 usaha kecil dan menengah yang bergerak dalam pengembangan usaha Bunga Mawar di Belanda dalam penelitian tersebut Verhees menyatakan bahwa customer market intelligences influences product innovation positively or negatively, depending on whether the innovatioveness of the owner in the new product domain is weak or strong. Berdasarkan pada pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa intelegensi konsumen dapat berpengaruh positif dan negatif terhadap inovasi produk, tergantung pada wewenang keinovasian pemilik dalam mengembangkan produk baru kuat atau lemah. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kurtinaitiene (2005) pada perusahaan operator mobile telecommunications di 15 negara yang tergabung dalam Uni Eropa, diperoleh temuan bahwa tidak terdapat pengaruh orientasi pasar terhadap inovasi. Hasil penelitian Kurtinaitiene (2005) sesuai dengan hasil penelitian Lawton dan Parasuraman (1980) yang menyatakan tidak terdapat pengaruh antara implementasi konsep pemasaran dengan inovasi produk. Sedangkan Lukas dan Ferrell (2000) juga menyatakan bahwa orientasi konsumen tidak memiliki pengaruh terhadap pengembangan produk baru. Lukas dan Ferrell (2000) dalam penelitian tersebut juga menyatakan bahwa hubungan antara orientasi pasar dengan inovasi masih terpecah-pecah dan belum meyakinkan.

Adanya kekaburan hasil penelitian mengenai pengaruh orientasi pasar terhadap inovasi, maka diperlukan penelitian lanjutan untuk menjelaskan pengaruh orientasi pasar terhadap inovasi. Hal ini juga didukung oleh penyataan Han et al., (1998) yang menyatakan bahwa hubungan kausal antara orientasi pasar-inovasi-kinerja yang dikembangkan oleh Deshpande, Farley dan Webser (1993) dinilai masih lemah, hal ini karena dalam penelitian tersebut tidak menjelaskan secara eksplisit apakah orientasi pasar memfasilitasi tingkat inovasi perusahaan.

Research Gap hubungan inovasi dengan kinerja pemasaran.
Inovasi merupakan fungsi yang penting dalam manajemen, karena inovasi berhubungan dengan kinerja perusahaan, hal ini telah dibuktikan oleh (Damanpour dan Evan, 1984; Damanpour, Szabat, dan Evan, 1989; Zahra, de Belardino, dan Boxx, 1988). Bahkan menurut Kotler (1991) menyatakan bahwa return on innovation rata-rata mencapai 50 persen atau lebih dari total pendapatan perusahaan. Secara lebih khusus dalam hubungannya antara inovasi dengan kinerja pemasaran beberapa peneliti juga telah membuktikan adanya pengaruh positif inovasi dengan kinerja pemasaran. Agarwal et al., (2003) menguji pengaruh inovasi terhadap kinerja obyektif yang diukur dengan tingkat hunian dan market share, dan kinerja obyektif yang diukur dengan menggunakan kualitas pelayanan dan kepuasan konsumen. Penelitian Agarwal et al., (2003) tersebut memperoleh temuan bahwa inovasi memiliki pengaruh terhadap kinerja pemasaran baik yang diukur dengan pendekatan obyektif (tingkat hunian dan market share) maupun dengan pendekatan subyektif (kualitas pelayanan dan kepuasan konsumen). Sedangkan Subin-Im dan Workman (2004) juga melakukan penelitian dalam kaitannya dengan inovasi dan kinerja pemasaran, dalam penelitian yang dilakukan terhadap 106 perusahaan yang bergerak dalam teknologi tinggi di Amerika Serikat diperoleh temuan bahwa kreatifitas dalam pengembangan produk dan program pemasaran yang baru memiliki pengaruh positif terhadap kinerja pemasaran.

Namun beberapa penelitian lainnya justru memberikan hasil yang berbeda yaitu Mavondo et al., (2005) menyatakan bahwa inovasi produk tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap efektifitas pemasaran. Disamping Mavondo et al., (2005), Darroch (2005) dalam penelitiannya pada bidang industri di New Zeland juga menemukan bahwa inovasi tidak memiliki pengaruh terhadap kinerja baik yang diukur dengan kinerja keuangan maupun kinerja non keuangan yaitu market share dan pertumbuhan penjualan. 

Research Gap peranan pembelajaran organisasional dalam hubungan antara orientasi pasar dengan kinerja pemasaran.
Banyak perusahaan yang telah berusaha untuk meningkatkan orientasi pasar dalam bisnisnya (Jaworski dan Kohli, 1993), akan tetapi, muncul argumen baru yang menyatakan bahwa orientasi pasar saja tidak cukup untuk meningkatkan kinerja organisasi, dan kemampuan organisasi untuk belajar lebih cepat dibandingkan pesaing mungkin merupakan salah satu sumber keunggulan bersaing (DeGeus, 1998; Dicson, 1992; Slater dan Narver, 1995). Lebih lanjut Lukas, Hult dan Ferrell (1996) menyatakan bahwa pembelajaran organisasional telah dipandang oleh beberapa ahli sebagai kunci untuk mecapai keberhasilan organisasi pada masa yang akan datang. Perspektif ini berbeda dengan teori neoklasik yang menyatakan bahwa tanah, tenaga kerja dan modal merupakan kunci untuk meningkatkan produktifitas. Namun sebaliknya dalam resource based theory (Hunt dan Morgan, 1995) menyatakan bahwa informasi dan pengetahuan merupakan kunci untuk mencapai keberhasilan. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dinyatakan bahwa kemampuan untuk belajar merupakan prioritas utama bagi organisasi untuk dapat bersaing dengan efektif.

Morgan et al., (1998) menyatakan bahwa respon komunitas akademik terhadap masalah kognitif organisasional dan pengembangan ilmu pengetahuan sangat besar dan terbagi dalam beberapa bidang yaitu bidang strategi, perilaku organisasi dan administratif, tetapi penelitian empiris pembelajaran organisasional pada bidang pemasaran masih sangat terbatas. Sinkula (1994) dan Slater dan Narver (1995) memperkenalkan konstruk pembelajaran organisasional dalam pemasaran, dengan adanya konstruk ini menimbulkan pergeseran penting dalam penelitian di bidang pemasaran. Slater dan Narver (1995) menyatakan bahwa orientasi pasar akan dapat meningkatkan kinerja organisasi jika dikombinasikan dengan pembelajaran organisasional. Selanjutnya Narver dan Slater (1995) menyatakan bahwa pembelajaran organisasional sebagai market-driven sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan merespon kebutuhan konsumen yang senantiasa berkembang melalui inovasi produk dan pelayanan. Kemampuan untuk mengantisipasi dan merespon kebutuhan pasar ini sangat penting untuk selalu mempercepat respon setiap peluang dan ancaman yang ada. Narver dan Slater (1995) juga menyatakan bahwa orientasi pasar merupakan satu kesatuan dengan pembelajaran organisasional. Meskipun pergeseran orientasi pasar ke pembelajaran organisasional telah memberikan kontribusi yang sangat berharga dalam bidang pemasaran, namun penyataan Narver dan Slater (1995) masih mengandung kontradiksi (Hurley dan Hult, 1998). Narver dan Slater (1995) menyatakan bahwa orientasi pasar dan pembelajaran organisasional merupakan satu kesatuan atau tidak dapat dipisahkan, namun di sisi lain Narver dan Slater (1995) menyatakan bahwa pembelajaran organisasional memediasi hubungan antara orientasi pasar dengan pembelajaran organisasional. Hurley dan Hult (1998) telah berusaha memecahkan kontradiksi ini dengan memasukan konstruk yang berkaitan dengan inovasi. Hurley dan Hult (1998) lebih memfokuskan variabel orientasi pasar terhadap inovasi (implementasi ide-ide baru, inovasi produk atau inovasi proses) dari pada pembelajaran organisasional (pengembangan pengetahuan dan wawasan) sebagai langkah utama dalam merespon pasar. Selanjutnya orientasi pasar dan pembelajaran organisasional keduanya secara terpisah ditempatkan sebagai variabel yang mempengaruhi budaya inovatif. Organisasi yang memiliki budaya inovatif dan memiliki sumberdaya cenderung akan lebih inovatif dan sehingga menimbulkan keunggulan bersaing.

Adanya bukti empiris yang menyatakan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh terhadap kinerja organisasi mendorong perlunya dilakukan penelitian untuk menganalisis hubungan orientasi pasar, pembelajaran organisasional dan kinerja pemasaran, hal ini penting untuk menjelaskan bagaimana cara mengkonversikan orientasi pasar menjadi kinerja organisasi yang unggul (Langerak, 2003). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Murray dan Peyrefitte (2007) yang menyatakan bahwa sekarang ini hasil penelitian empiris yang memberikan petunjuk dengan jelas bagaimana proses transfer pengetahuan dalam organisasi masih sangat terbatas. Farrell (2000) menyatakan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh positif terhadap orientasi belajar dan orientasi belajar memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja bisnis dibandingkan dengan orientasi belajar. 

Penelitian tentang orientasi pasar, orientasi belajar, inovasi organisasional dan kinerja telah banyak dilakukan, namun pada umumnya penelitian yang menguji konstruks tersebut hanya dilakukan secara sepotong-sepotong dan tidak dilakukan penelitian secara menyeluruh dengan menguji hubungan antar konstruks tersebut (Mavondo, 2005). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Hurley dan Hult (1998) dalam rekomendasi penelitian yang akan datang yang menyatakan bahwa pada umumnya penelitian tentang orientasi pasar dan pembelajaran orientasi belajar sekarang lebih menekankan untuk menjelaskan atribut orientasi pasar dan orientasi belajar pada perusahaan saja, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menguji bagaimana perusahaan menjadi lebih inovatif dan mengembangkan kapabilitasnya secara lengkap dengan peranan pembelajaran dan orientasi pasar dalam sebuah proses sehingga diperoleh pemahaman bagaimana perusahaan belajar, berubah dan meningkatkan kinerja. Penelitian yang menguji hubungan empat variabel tersebut dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis hubungan yaitu: penelitian yang menguji hubungan antara orientasi pasar dengan kinerja (Kohli dan Jaworski, 1990; Jaworski dan Kohli, 1993; Narver dan Slater, 1990), orientasi pasar dalam kaitannya dengan orientasi belajar dan inovasi (Slater dan Narver, 1995; Sinkula, 1994), hubungan antara orientasi pasar inovasi (Deshphande, et al., 1993), hubungan orientasi pasar-inovasi-kinerja (Han et al., 1998) dan yang terakhir hubungan antara orientasi pasar, orientasi belajar dan inovasi (Hurley and Hult, 1998).

Pembelajaran organisasional menurut March (1991) dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pembelajaran eksploitatif dan pembelajaran eksploratif. Pembelajaran eksploitatif merupakan proses pembelajaran yang dilakukan dengan tujuan untuk melakukan perbaikan dan pengembangan kompetensi, teknologi dan paradigma yang telah ada, sedangkan pembelajaran eksploratif merupakan proses pembelajaran yang bertujuan untuk melakukan percobaan dengan alternatif baru, yang memiliki pengembalian tidak pasti, memerlukan waktu lama bahkan dapat menimbulkan kerugian. Berbeda dengan Hurley dan Hult (1998) dalam penelitian ini pembelajaran organisasional sebagai konsekuensi dari orientasi pasar dibedakan menjadi pembelajaran eksploitatif dan pembelajaran eksploratif seperti yang diuraikan oleh March (1999). Meskipun perbedaan pembelajaran eksploratif dan pembelajaran eksploitatif sering disebut dalam penelitian, namun penelitian empiris yang menguji perbedaan pengaruh pembelajaran eksploitatif dan pembelajaran eksploratif masih sangat terbatas (Schildt et al., 2005). Tujuan memasukan variabel pembelajaran eksploratif dan pembelajaran eksploitatif dalam penelitian ini diharapkan akan dapat menjelaskan hubungan kausal antara orientasi pasar dengan inovasi dan kinerja pemasaran yang selama ini masih memberikan hasil yang berbeda-beda. 

Research Gap penelitian empiris anteseden orientasi pasar.
Penelitian yang menguji tentang pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja organisasi sudah diuji dengan ekstensif namun penelitian yang meneliti antecedent dari orientasi pasar masih sangat sedikit (Foley dan Fahy, 2004). Sehingga pertanyaan mengenai bagaimana cara mengembangkan orientasi pasar belum bisa terjawab secara jelas. Kerangka yang dikembangkan oleh Jaworski dan Kohli (1993) telah menjadi inspirasi sebagai bahan literatur penting yang menguji secara empiris baik antecedent maupun consequences dari orientasi pasar (Pulendran, 2000). Menurut Avlonitis dan Gounaris (1999) literatur mengenai anteseden dari orientasi pasar telah terabaikan sedangkan analisis tentang anteseden orientasi pasar sedikit yang mengikuti analisis asli Jaworski dan Kohli (1993), oleh karena itu ketika literatur orientasi pasar telah mampu memberikan sumbangan pada penerapan aplikasi konsep pemasaran, tetapi masih sangat sedikit sumbangannya kepada para praktisi untuk mengembangkan pada fokus pemasaran. 

Narver, Slater dan Tietje (1998) menyatakan bahwa hasil penelitian yang telah membuktikan bahwa orientasi pasar berpengaruh positif kinerja organisasi telah banyak tetapi bagaimana sebuah bisnis dapat menciptakan atau meningkatkan orientasi pasar masih perlu dipertanyakan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Bhuian (1998) yang menyatakan bahwa studi empiris yang digunakan untuk menjawab pertanyaan mengapa sebuah perusahaan lebih berorientasi pasar dibandingkan dengan perusahaan lain masih sangat terbatas. Untuk mengatasi terbatasnya penelitian tentang anteseden orientasi pasar Pulendran (2000) menyatakan bahwa diperlukan adanya penelitian lanjutan dengan lebih melakukan investigasi secara lebih lengkap tentang anteseden yang dapat mempengaruhi orientasi pasar dalam organisasi. 

Faktor pimpinan dan sistem organisasi memiliki pengaruh positif terhadap penerapan orientasi pasar dalam organisasi (Webster, 1988; Jaworski dan Kohli, 1990). Faktor pimpinan dalam Usaha Kecil dan Menengah (UKM) memiliki peranan yang sangat penting bagi keberhasilan organisasi. Beberapa kelemahan pimpinan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia dalam kaitannya dengan orientasi pasar adalah lemahnya jiwa kewirausahaan, rendahnya komitmen pimpinan untuk menerapkan orientasi pasar dalam organisasi dan kurangnya pelatihan. Sedangkan masalah dalam sistem organisasi adalah lemahnya penerapan sistem reward berbasis pemasaran karena pada umumnya sistem reward pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) masih berdasarkan pada sistem waktu dan sistem borongan. Oleh karena itu dalam penelitian ini faktor karakteristik pimpinan yang terdiri dari orientasi kewirausahaan, orientasi jangka panjang, orientasi belajar, dan faktor sistem organisasi yaitu sistem reward berbasis pemasaran dijadikan sebagai variabel anteseden orientasi pasar.

Penelitian tentang orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan pada saat ini masih terbagi dalam dua aliran yang berbeda (Gima, 2001). Literatur manajemen lebih menekankan pada orientasi kewirausahaan (Covin dan Slevin, 1989; Zahra, 1993), sedangkan literatur pemasaran lebih menekankan orientasi pasar Jaworski dan Kohli, 1993, Narver dan Slater, 1990, Ruekert, 1992, Slater dan Narver, 1994). Adanya dua aliran yang berbeda tersebut menimbulkan kontraproduktif, hal ini karena kedua orientasi tersebut dapat dihubungkan untuk menjelaskan terciptanya kinerja organisasi (Hamel dan Prahaland, 1994; Slater dan Narver, 1995). Moris dan Paul (1987) menyatakan bahwa orientasi pasar dan orientasi kewirausahaan masih perlu dihubungkan untuk mencapai kinerja organisasi. 

Orientasi kewirausahaan diyakini memiliki hubungan langsung dengan orientasi pasar (Matsuno et al., 2002). Menurut Miller (1983) orientasi kewirausahaan merupakan suatu orientasi untuk berusaha menjadi yang pertama dalam inovasi produk pasar, berani mengambil risiko dan melakukan tindakan proaktif untuk dapat mengalahkan pesaing. Sedangkan menurut Menon dan Varadarajan (1992) yang menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki budaya proinovasi akan mendorong penyebaran dan penggunaan informasi (yang merupakan bagian penting dalam orientasi pasar). Kohli dan Jaworski, (1990) menyatakan bahwa seorang manajer yang memiliki keberanian untuk mengambil risiko dan menerima kegagalan akan cenderung lebih suka untuk mengenalkan produk baru untuk merespon perubahan permintaan konsumen. Proaktif dalam konteks kewirausahaan berkaitan dengan perspektif untuk melihat ke depan dan cenderung untuk mengambil inisiatif dengan mengantisipasi dan mengejar peluang baru dan dengan berpartisipasi dalam merebut pasar (Lumkin dan Dess, 1996). Dimensi proaktivitas dalam kewirausahaan diyakini mendorong dalam melakukan identifikasi peluang pasar baru (Miller dan Friesen, 1982; Vekatraman, 1989), hal ini akan meningkatkan tingkat intelegensi pasar dan ketanggapan (Kohli dan Jaworski, 1990). 

Penelitian tentang orientasi jangka panjang pada saat ini merupakan hal yang sangat menarik dan relevan dengan kondisi saat ini dimana setiap pemasok harus memberikan perlakukan secara individual terhadap masing-masing konsumen (Redondo dan Fiero, 2005). Orientasi jangka panjang berarti menawarkan dan mendapatkan nilai tambah dengan menciptakan, mengembangkan, dan memelihara hubungan antara pelanggan dan pemasok (Rexha, 2000). Jika kedua belah pihak baik pihak pembeli maupun pihak penjual memperoleh keuntungan maka dipandang sebagai dasar untuk menjamin keberhasilan dan kelangsungan perusahaan di pasar (Kothandaraman dan Wilson, 2001). Meskipun telah banyak penelitian tentang orientasi jangka panjang hubungan antara pembeli dan penjual (Spekman, 1988; Heide dan John, 1990; Ganesan, 1994; Garbarino and Johnson, 1999) tetapi masih sangat sedikit yang menempatkan variabel tersebut sebagai anteseden dari orientasi pasar.

Beberapa penelitian telah berusaha menguji hubungan antara orientasi belajar dengan kinerja perusahaan (Zahra et al., 2000; Hult et al., 1999; Baker dan Sinkula, 1999). Penelitian yang menghubungkan orientasi belajar dengan kinerja pada umumnya menunjukkan bahwa perusahaan yang memiliki tingkat orientasi belajar yang tinggi cenderung memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan dengan pesaingnya, terutama dalam lingkungan yang tidak pasti dan intensitas persaingan yang tinggi (Dicson, 1992; DeGeus, 1988). Kemampuan perusahaan untuk belajar dari pengalaman merupakan hal yang sangat penting dalam menentukan kinerja (Farrell, 2001; Nevis et al., 1995; Slater dan Narver, 1995). Pembelajaran memungkinkan perusahaan untuk memilih target pasar dan memasuki pasar baru, sehingga dapat meningkatkan kinerja (McCann,1991; Zahra et al., 2000). 

Penelitian yang menguji orientasi kewirausahaan (Farrell, 2001; Nevis et al., 1995; Slater dan Narver, 1995), orientasi jangka panjang (Spekman, 1988; Heide dan John, 1990; Ganesan, 1994; Garbarino and Johnson, 1999) dan orientasi belajar (Zahra et al., 2000; Hult et al., 1999; Baker dan Sinkula, 1999) pada umumnya dilakukan secara sendiri-sendiri, dan langsung dihubungkan dengan kinerja organisasi, Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengembangkan model multikonstruk yang menguji pengaruh ketiga orientasi tersebut yaitu orientasi kewirausahaan, orientasi jangka panjang, dan orientasi belajar melaui orientasi pasar sebagai variabel intervening.

Sistem reward dapat membentuk perilaku karyawan dalam organisasi (Jaworski, 1998). Secara lebih jelas lagi Pulendran (2000) menyatakan bahwa terdapat korelasi positif antara sistem reward dengan orientasi pasar. Berdasarkan uraian tersebut dapat dijelaskan bahwa organisasi yang menerapkan sistem reward dengan berbasis pada kinerja pemasaran akan mendorong tumbuhnya orientasi pasar dalam organisasi tersebut. Penelitian yang menguji pengaruh sistem reward terhadap kinerja pada umumnya dilakukan pada perusahaan besar dengan latar belakang di negara-negara maju (Jaworski, 1998; Pulendran, 2000) oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk menguji pengaruh sistem reward terhadap orientasi pasar pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan latar belakang di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini karena menurut Jaworski dan Kohli (1990) orientasi pasar akan kurang bermanfaat dalam situasi persaingan terbatas kondisi pasar stabil, sedangkan pada negara berkembang ditandai dengan persaingan yang ketat dan konsidi pasar yang tidak stabil (Luo,1999) sehingga penelitian tentang orientasi pasar menjadi lebih penting.

Research Gap penelitian empiris orientasi pasar pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan latar belakang negara berkembang.
Penelitian tentang orientasi pasar telah banyak ditemukan dalam literatur manajemen, tetapi studi empiris tersebut mayoritas dilakukan dengan latar belakang pada perusahaan besar di negara-negara industri. Padahal dinamika pasar pada negara-negara berkembang sangat berbeda dengan dinamika pasar pada negara-negara industri. Pada umumnya kondisi pasar pada negara-negara berkembang ditandai dengan pertumbuhan yang rendah, perubahan preferensi pembeli, dan intensitas persaingan yang tinggi. Namun sebaliknya di berapa negara berkembangan kondisi pasar juga ditandai dengan pertumbuhan yang cepat, peningkatan permintaan produk, cepatnya pesaing baru masuk (Bhuian, 1997). Webster (1992) menyatakan bahwa efektifitas dari orientasi strategi termasuk didalamnya orientasi pasar, dalam kondisi pasar yang sangat dinamis mungkin akan tidak menentu. Oleh karena itu penelitian orientasi pasar dengan konteks pada negara-negara berkembang dengan research setting pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) akan memberikan sumbangan yang sangat berharga.

Lingkungan bisnis dibeberapa negara berkembang sedang mengalami pergeseran, oleh karenanya mempengaruhi metamorfosa dari perusahaan yang berorientasi produksi ke perusahaan berorientasi pemasaran, studi empiris tentang orientasi pasar pada negara-negara yang sedang berkembang masih sangat terbatas (Adu, 1998). Hal ini sejalan dengan pendapat Kuada dan Buatsi (2005) yang menyatakan bahwa pada umumnya penelitian mengenai orientasi pasar dan kinerja untuk negara berkembang masih sangat terbatas. Pada tahun-tahun belakangan ini beberapa peneliti telah menyarankan perlu dilakukan penelitian untuk memperkuat konsep dan kerangka dengan melakukan replikasi dengan konteks pada negara-negara berkembang (Kuada dan Buatsi, 2005). Para ahli menyatakan, terdapat beberapa alasan di negara-negara berkembang orientasi pasar sebagai dasar filosofi bisnis, yaitu: pertama konsumen di negara-negara berkembang berpengalaman dan menyadari atas hak-haknya, sehingga perusahaan tidak dapat mengabaikan kebutuhan konsumen, jika mereka ingin tetap bersaing. Kedua, intensitas persaingan diantara perusahaan dinegara-negara berkembang sangat ketat, dan penawaran sebagian besar produk melebihi permintaannya. Kondisi ini mendorong derajat orientasi konsumen dan orientasi pesaing (Kuada dan Buatsi, 2005). Namun demikian pada umumnya di negara-negara berkembang konsep dan penerapan orientasi pasar mungkin merupakan kebiasaan baru yang radikal dari negara-negara yang sangat mengawasi aktivitas penjualan (Hooley, et al., 1999).

Pada akhir-akhir ini pembahasan mengenai orientasi pasar telah menarik banyak minat para ahli pemasaran (Blankson, 2005), namun demikian ketika banyak perhatian yang diberikan kepada usaha kecil oleh para pengambil kebijakan, praktisi dan akademisi, tetapi hanya sedikit penelitian mengenai orientasi pasar pada usaha kecil (McLarty, 1998). Hal ini tentunya sangat mengejutkan karena usaha kecil memegang peranan yang sangat besar dalam mendorong laju perekonomian Indonesia.

Telah banyak penelitian yang menguji hubungan antara orientasi pasar dengan inovasi (Jaworski et al., 2000; Slater dan Narver, 1998; Hurley dan Hult, 1998; Atuahene-Gima, 1996; Slater dan Narver, 1995). Namun pada umumnya penelitian tersebut lebih memfokuskan pada perusahaan-perusahaan besar. Hal ini menimbulkan keraguan apakah tipe hubungan antara orientasi pasar dengan inovasi pada perusahaan-perusahaan besar dapat digeneralisasikan terhadap perusahaan kecil (Verhess dan Meulenberg, 2004) karena inovasi pada perusahaan kecil berbeda dengan inovasi pada perusahaan-perusahaan besar (Audretsch, 2001; Eden, Levitas, dan Martinez, 1997). Sehingga perlu dilakukan penelitian yang menguji hubungan antara orientasi pasar dengan inovasi pada usaha kecil, hal ini sangat penting untuk memecahkan gap mengenai usaha kecil karena pentingnya inovasi pada usaha kecil untuk kondisi ekonomi sekarang (Robbins et al., 2000). 

Penelitian yang berkaitan dengan inovasi di negara maju telah dilakukan oleh banyak peneliti, tetapi dinegara berkembang riset tentang inovasi masih relatif sedikit (Hurley dan Hult, 1998). Hal ini sesuai dengan pernyataan Keskin (2006) yang menyatakan bahwa penelitian tentang orientasi pasar, orientasi belajar dan inovasi lebih difokuskan pada perusaaan besar pada negara-negara barat/maju, tetapi masih mengabaikan penelitian pada perusahaan kecil di negara-negara berkembang. Keskin (2006) juga menyatakan tiga alasan perlunya dilakukan penelitian tentang orientasi pasar, orientasi belajar dan inovasi pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan latar belakang di negara-negara berkembang bagi pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu: (1) Mayoritas penelitian tentang orientasi pasar dilakukan di negara-negara maju Amerika Serikat, Inggris dengan menggunakan skala pengukuran Narver dan Slater (1990), Kohli et al., (1993), Ruekert (1992), Calantone et al., (2002) dan lainnya. Penelitian replikasi orientasi pasar, orientasi belajar dan inovasi dapat terjamin ketepatannya, hal ini karena konstruk yang digunakan telah teruji validitas dan reliabelitasnya sehingga dapat digunakan pada berbagai kondisi lingkungan dan ekonomi. (2) Penelitian tentang orientasi pasar dan orientasi belajar sebagian besar dilakukan pada perusahaan dengan jumlah karyawan lebih dari 250 orang, padahal aplikasi pengukuran orientasi pasar, orientasi belajar dan inovasi pada perusahaan berkala besar mungkin memiliki arti yang berbeda dalam konteks Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Usaha Kecil dan menengah (UKM) memiliki masalah khusus dalam memformulasikan strategi inovasi disebabkan karena, keterbatasan sumberdaya dan kemampuan teknologi, pengaruh pemiliki dalam pengambilan keputusan, ketergantuang pada sedikit pelanggan dan pemasok, fokus efisiensi hanya pada bagian operasi saja (Badger et al., 2001). (3) Penelitian empiris tentang orientasi pasar, orientasi belajar dan inovasi pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) masih terpotong-potong atau tidak lengkap. Sebagai contoh penelitian yang menghubungkan antara orientasi pasar dengan kinerja (Horng dan Cheng, 1998; Pelham, 2000), penelitian tentang orientasi belajar dan pertumbuhan perusahaan dan inovasi (Sadler-Smitth, et al, 2001) dan kinerja organisasi (Chouke dan Amstrong, 1998), dan penelitian tentang inovasi dan kinerja (Aharoni, 1994).

Pada umumnya penelitian yang berkaitan dengan inovasi dilakukan di negara-negara maju, sedangkan penelitian yang berkaitan dengan inovasi di negara-negara berkembang masih sangat terbatas (Hurley dan Hult, 1998). Penelitian inovasi di negara berkembang dan obyek Usaha Kecil dan Menengah (UKM) akan lebih terbatas lagi. Padahal kondisi di negara maju dengan obyek penelitian perusahaan besar dengan kondisi di negara berkembang dengan obyek penelitian di Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam hal inovasi dan strategi sangat berbeda. 

Penelitian menguji pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja organisasi pada umumnya dilakukan pada perusahaan swasta besar baik yang profit oriented (Narver dan Slater, 1990; Jaworski dan Kohli, 1993) maupun yang non profit oriented (Padanyi dan Gainer, 2004; Kara et al., 2004), sedangkan yang menguji pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM) masih sangat terbatas. Terbatasnya penelitian mengenai orientasi pasar pada perusahaan kecil juga dikemukakan oleh Duncan (2000) yang menyatakan bahwa meskipun usaha kecil memiliki konstribusi yang besar terhadap perekonomian akan tetapi pada umumnya penelitian pada bidang pemasaran dan manajemen masih lebih difokuskan pada perusahaan besar. Narver dan Slater (1994) juga menyatakan bahwa para peneliti selama tiga dekade terakhir telah berhasil membangun teori mengenai anteseden dan konsekuensi dari orientasi pasar dan telah mampu menciptakan pengukuran yang valid serta telah berhasil menguji pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja organisasi namun demikian mereka masih mengabaikan penelitian empiris dengan menggunakan teori tersebut pada sampel usaha kecil. Peneliti sebelumnya yaitu Peterson (1989) juga menyatakan hal yang sama yaitu masih terbatasnya penelitian empiris tentang adopsi dan penggunakan konsep pemasaran pada perusahaan kecil.

Terbatasnya penelitian mengenai orientasi pasar pada perusahaan kecil menurut Duncan (2000) disebabkan karena adanya beberapa alasan yaitu: (1) Semakin besar perusahaan maka semakin mudah untuk diteliti, karena dengan semakin besar ukuran perusahaan maka peneliti akan lebih mudah untuk melakukan observasi dan pengumpulan data, (2) pada umumnya perusahaan besar memiliki umur usaha yang lebih lama sehingga memungkinkan peneliti untuk melakukan penelitian dengan menggunakan analisis longidutinal, (3) pada umumnya perusahaan besar memiliki budaya organisasi yang lebih kompleks sehingga lebih menarik untuk diteliti dibandingkan perusahaan kecil, dan (4) perusahaan besar memiliki sumber keuangan yang lebih kuat untuk melakukan penelitian dibandingkan dengan perusahaan kecil. Kondisi ini menyebabkan perusahaan kecil seringkali memiliki kelemahan pada departemen pemasaran, proses pembuatan keputusan secara sistematik, hal ini menyebabkan perusahaan kecil akan mengalami kesulitan dalam meningkatkan profitabilitas (Robinson dan Pearce, 1984).

Peningkatan konstribusi usaha kecil terhadap perekonomian maka penelitian tentang pemasaran pada usaha kecil semakin penting untuk dilakukan (Duncan, 2000). Disamping itu (Duncan, 2000) juga menyatakan bahwa penelitian mengenai orientasi pasar pada perusahaan kecil memiliki bebarapa keuntungan dibandingkan jika dilakukan pada perusahaan-perusahaan besar, yaitu: penelitian pada perusahaan kecil cenderung akan dapat menurunkan kekaburan sebagai akibat dari adanya pembauran multi-produk yang ditawarkan pada perusahaan besar, disamping itu penelitian pada perusahaan kecil akan dapat memaksimalkan peranan informan kunci, karena pemimpin perusahaan kecil lebih mengetahui kondisi yang berkaitan dengan tingkat orientasi pasar dibandingkan dengan pemimpin pada perusahaan besar, hal ini disebabkan dekatnya hubungan antara pemimpin perusahaan kecil dengan tingkat operasional dalam perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas masih terlihat adanya gap dalam penelitian empiris yeng meneliti hubungan antara orientasi pasar, orientasi belajar dan inovasi yang terintegrasi pada Usaha Kecil dan Menengah (Keskin, 2006), sedangkan Muller dan Goic (2002) juga menyatakan bahwa perlu dilakukan penelitian tentang tingkat inovasi dan kewirausahaan di negara yang sedang berkembang. 

Fenomena Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Indonesia dan di Eks-Karesidenan Banyumas.
Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia memegang peranan yang sangat penting. Sejak krisis ekonomi melanda Indonesia, peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) meningkat dengan sangat tajam, hal ini terlihat dari jumlah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang meningkat dengan pesat, dari sekitar 7.000 pada tahun 1980 menjadi sekitar 40 juta pada tahun 2001 dan meningkat lagi menjadi 49,840 juta pada tahun 2007.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa persentase jumlah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dibandingkan dengan total perusahaan pada tahun 2007 adalah sebanyak 49,840 juta perusahaan atau sebesar 99,9 persen, sedangkan perusahaan besar hanya sebanyak 4,52 ribu atau hanya sebesar 0,01 persen. Pada tahun yang sama jumlah tenaga kerja yang terserap pada sektor ini mencapai 91.752.318 atau sebesar 99,5 persen dari total angkatan kerja yang bekerja. Sumbangan pada Produk Domestik Bruto (PDB) pada perekonomian Indonesia mencapai Rp. 2.121,3 trilyun atau sebesar 53,6 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB). 

Pada tahun 2007 Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mampu memberikan kontribusi terhadap ekspor non migas sebesar 19,1 persen. Pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 6,3 persen pada tahun 2007, usaha mikro kecil mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi sebesar 2,4 persen dan 1,2 persen yang berasal dari usaha menengah, sedangkan usaha besar hanya menyumbang 2,7 persen. Sebagian besar hasil produksi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang diekspor yaitu 89 persen, berupa komoditi yang dihasilkan sektor industri, diikuti oleh sektor pertanian sebesar 9,8 persen, dan pertambangan sebesar 1,2 persen, sedangkan usaha besar peranan komoditi sektor industri sebesar 82,3 persen, diikuti sektor pertambangan sebesar 17,5 persen dan sektor pertanian 0,2 persen. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia adalah sangat penting dalam menyediakan lapangan kerja dan menghasilkan output. Melihat sumbangan yang semakin penting, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) seharusnya mendapatkan perhatian yang semakin besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia (Adiningsih, 2002).

Perkembangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang semakin meningkat dari segi kuantitas ternyata belum diimbangi dengan peningkatan kualitas Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang memadai. Penguasaan asset Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga sangat kecil dibandingkan dengan penguasaan asset perusahaan besar dimana penguasaan asset Usaha Kecil dan Menengah (UKM) hanya sebesar 8 persen padahal jumlah perusahaan mencapai 49,840 juta, sedangkan penguasaan asset perusahaan besar mencapai 58 persen meskipun jumlah perusahaan hanya sebanyak 4,52 ribu. Masalah yang masih dihadapi adalah rendahnya produktifitas sehingga menimbulkan kesenjangan antara usaha ekonomi kecil menengah dan besar. Berdasarkan harga konstan tahun 1993, produktivitas per unit usaha selama 2000-2003 tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, yaitu usaha kecil dan mikro masih berkisar Rp. 4,3 juta dan usaha menengah berkisar Rp. 1,2 miliar. Rendahnya produktivitas ini berkaitan dengan: 1). Rendahnya kualitas sumberdaya manusia khususnya dalam hal manajemen, organisasi, teknologi, dan pemasaran, 2). Lemahnya rata-rata kompetensi kewirausahaan. 3). Terbatasnya kapasitas Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk mengakses permodalan, teknologi informasi, pasar dan faktor produksi lainnya. 

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) juga masih menghadapi berbagai permasalahan yang terkaitan dengan iklim usaha seperti: (1). Besarnya biaya transaksi, perpanjangan proses perizinan dan timbulnya berbagai pungutan (2). Praktek usaha yang tidak sehat. Disamping itu otonomi daerah yang diharapkan mampu mempercepat tumbuhnya iklim usaha yang kondusif bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ternyata belum menunjukkan kemajuan yang merata. Bahkan beberapa daerah memandang bahwa Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagai sumber pendapatan asli daerah dengan mengenakan pungutan-pungutan baru bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sehingga biaya usaha Usaha Kecil dan Menengah (UKM) menjadi meningkat.

Meskipun peranan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam perekonomian Indonesia memegang peranan yang sangat sentral, namun kebijakan pemerintah maupun peraturan pendukungnya sampai sekarang dipandang belum optimal. Sehingga dalam pelaksanaannya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) masih menghadapi berbagai permasalahan. Menurut Urata (2000) masalah yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dapat dikelompokan menjadi dua yaitu masalah finansial dan masalah non finansial (organisasi manajemen). Masalah yang termasuk dalam masalah finansial adalah diantaranya adalah: (1). Kurangnya kesesuaian (terjadinya mismatch) antara dana yang tersedia dan dana yang dapat diakses oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM). (2). Tidak adanya pendekatan yang sistematis dalam pendanaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). (3). Biaya transaksi yang tinggi, yang disebabkan oleh prosedur kredit yang cukup rumit sehingga menyita banyak waktu sementara jumlah kredit yang dikucurkan sangat kecil. (4). Kurangnya akses ke sumber dana yang formal, baik disebabkan oleh ketiadaan bank dipelosok maupun tidak tersedianya informasi yang memadai. (5). Bunga kredit untuk investasi maupun modal kerja yang tinggi. (6). Banyaknya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang belum bankable, baik disebabkan karena belum adanya manajemen keuangan yang transparan maupun kurangnya kemampuan manajerial dan finansial. 

Sedangkan masalah yang termasuk dalam masalah non-finansial (organisasi manajemen) diantaranya adalah: (1) Kurangnya pengetahuan atas teknologi produksi dan quality control yang disebabkan oleh minimnya kesempatan untuk mengikuti perkembangan teknologi serta kurangnya pendidikan dan pelatihan. (2) Kurangnya pengetahuan akan pemasaran, yang disebabkan oleh terbatasnya informasi yang dapat dijangkau oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengenai pasar, serta karena terbatasnya Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk menyediakan produk/jasa yang sesuai dengan keinginan pasar. (3). Keterbatasan sumberdaya manusia (SDM) serta kurangnya sumberdaya manusia untuk mengembangkan sumberdaya manusia (SDM). (4). 

Kurangnya pemahaman Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mengenai akuntansi dan keuangan. 
Kuncoro (2006) menyatakan bahwa permasalahan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dapat dikelompokan menjadi dua yaitu permasalahan internal dan permasalahan eksternal. Masalah internal yang dihadapi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) adalah: Rendahnya kualitas sumberdaya manusia seperti kurang terampilnya sumberdaya manusia dan kurangnya jiwa kewirausahaan, rendahnya penguasaan teknologi serta manajemen dan informasi pasar. Masalah SDM ini akan berdampak kepada rendahnya tingkat produktivitas dan kualitas pengelolaan manajemen, sedangkan masalah eksternal yang dihadapi Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada umumnya adalah: (1). Belum tuntasnya masalah penanganan aspek legalitas badan usaha dan kelancaran prosedur perizinan, pelaksanaan persaingan usaha yang sehat, penataan lokasi usaha dan otonomi daerah, khususnya kemauan daerah untuk melaksanakan pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), (2). Kecapatan pulihnya kondisi ekonomi secara makro akibat kenaikan BBM dan energi lainnya yang sangat berpengaruh terhadap kegiatan produksi Usaha Kecil dan Menengah (UKM), (3). Masih terbatasanya penyediaan produk jasa lembaga keuangan khususnya kredit investasi, (4). Terbatasnya ketersediaan dan kualitas jasa pengembangan usaha bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM), (5). Terbatasnya sumberdaya finansial untuk usaha mikro.

Sedangkan menurut Kuncoro (1997) yang mengutip hasil penelitian Pusat Konsultasi Pengusaha Kecil Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa urutan prioritas permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha kecil adalah: (1) Masalah belum dimilikinya sistem administrasi keuangan dan manajemen yang baik karena belum dipisahkannya kepemilikan dengan dan pengelolaan perusahaan, (2). Masalah pinjaman baik dari bank maupun modal ventura karena kebanyakan pengusaha kecil mengeluh berbelitnya prosedur mendapatkan kredit, agunan tidak memenuhi syarat, dan tingkat bunga tidak terlalu tinggi, (3). Masalah menyusun perencanaan bisnis karena persaingan merebut pasar semakin ketat, (4). Masalah akses terhadap teknologi terutama bila pasar dikuasai oleh perusahaan/group bisnis tertentu dan selera konsumen cepat berubah; (5) Masalah memperoleh bahan baku karena adanya persaingan yang ketat dalam mendapatkan bahan baku, (6). Masalah perbaikan kualitas barang dan efisiensi terutama bagi yang sudah menggarap pasar ekspor karena selara konsumen berubah cepat, pasar dikuasi perusahaan tertentu dan banyak barang pengganti, (7). Masalah tenaga kerja yang sulit karena sulit mendapatkan tenaga kerja yang terampil.

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Jawa Tengah menghadapi permasalahan yang relatif sama dengan masalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) secara nasional, Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Jawa-Tengah menurut Munir (2008) memiliki enam masalah yaitu permodalan, akses pasar, keterampilan dan teknologi, manajemen usaha, akses untuk bahan baku dan iklim usaha yang belum kondusif, sedangkan menurut Sulhadi (2008) masalah Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Jawa-Tengah di kelompokan menjadi empat, yaitu akses pasar, modal, kualitas sumber daya manusia dan regulasi. 

Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Wilayah Eks-Karesidenan Banyumas masih mempunyai banyak permasalahan yang relatif sama dengan permasalahan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Propinsi Jawa-Tengah maupun permasaahan secara nasional yaitu masalah manajerial keterbatasan sumber daya manusia, masalah permodalan terbatasnya kemampuan untuk mengakses permodalan dari perbankan, masalah produksi yaitu lemahnya kurangnya pengetahuan akan teknologi dan proses produksi, masalah administrasi keuangan yaitu kurangnya pemahaman mengenai akuntansi dan keuangan, serta masalah pemasaran hal ini terlihat dari sempitnya jangkauan pemasaran Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang ada di Wilayah Eks-Karesdienan Banyumas (Bank Indonesia, Purwokerto, 2006).

0 komentar:

 

Copyright © ILMU KAULA Design by O Pregador | Powered by Blogger