Pada tahun 1830, pemerintah Belanda mengangkat gubernur
jenderal yang baru untuk Indonesia, yaitu Van den Bosch, yang
diserahi tugas untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor, seperti
tebu, teh, tembakau, merica, kopi, kapas, dan kayu manis. Dalam
hal ini, Van den Bosch mengusulkan adanya sistem tanam paksa.
Adapun hal-hal yang mendorong Van den Bosch melaksanakan
tanam paksa, antara lain, Belanda membutuhkan banyak dana
untuk membiayai peperangan, baik di negeri Belanda sendiri maupun
di Indonesia. Akibatnya, kas negara Belanda kosong. Sementara
itu, di Eropa terjadi perang Belanda melawan Belgia (1830 – 1839)
yang juga menelan banyak biaya.
Tujuan diadakannya tanam paksa adalah untuk mendapatkan keuntungan yang
sebesar-besarnya, guna menutupi kekosongan kas negara dan untuk membayar utangutang
negara. Adapun pokok-pokok aturan tanam paksa sebagai berikut.
1) Seperlima tanah penduduk wajib ditanami tanaman yang laku dalam perdagangan
internasional/Eropa.
2) Tanah yang ditanami bebas pajak.
3) Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman perdagangan tidak boleh
melebihi pekerjaan untuk menanam padi.
4) Hasil tanaman perdagangan diserahkan kepada pemerintah dan jika harga yang
ditaksir melebihi pajak, kelebihan itu milik rakyat dan diberikan cultuur procenten
(hadiah karena menyerahkan lebih). Akibatnya, rakyat saling berlomba untuk
mendapatkannya.
5) Kegagalan tanaman/panen menjadi tanggung jawab pemerintah.
Pelaksanaan tanam paksa
diselewengkan oleh Belanda dan
para petugasnya yang berakibat
membawa kesengsaraan rakyat.
Bentuk penyelewengan tersebut,
misalnya, kerja tanpa dibayar untuk
kepentingan Belanda (kerja rodi),
kekejaman para mandor terhadap
para penduduk, dan eksploitasi kekayaan
Indonesia yang dilakukan
Belanda.
Melihat penderitaan rakyat Indonesia, kaum humanis Belanda menuntut agar
tanam paksa dihapuskan. Tanam paksa mengharuskan rakyat bekerja berat selama
musim tanam. Penderitaan rakyat bertambah berat dengan adanya kerja rodi membangun
jalan raya, jembatan, dan waduk. Selain itu, rakyat masih dibebani pajak yang berat,
sehingga sebagian besar penghasilan rakyat habis untuk membayar pajak. Akibatnya,
rakyat tidak mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari sehingga kelaparan terjadi di
mana-mana, seperti Cirebon, Demak, dan Grobogan.
Sementara itu di pihak Belanda, tanam paksa membawa keuntungan yang besar.
Praktik tanam paksa mampu menutup kas negara Belanda yang kosong sekaligus
membayar utang-utang akibat banyak perang.
Adapun tokoh-tokoh kaum humanis anti tanam paksa sebagai berikut.
1) Eduard Douwes Dekker yang memprotes pelaksanaan tanam paksa melalui tulisannya
berjudul Max Havelaar. Dalam tulisan tersebut, ia menggunakan nama samaran
Multatuli, artinya aku yang menderita.
2) Baron van Hoevell, ia seorang pendeta di Batavia yang berjuang agar tanam paksa
dihapuskan. Usahanya mendapat bantuan Menteri Keuangan Torbecke.
3) Fransen van de Pute, ia seorang anggota Majelis Rendah yang mengusulkan tanam
paksa dihapuskan.
4) Van Deventer, pada tahun 1899, menulis artikel berjudul Een Eereschuld (Utang
Budi) yang dimuat dalam majalah De Gids. Artikel tersebut berisi, antara lain,
Trilogi Van Deventer yang mencakup edukasi, irigasi, dan transmigrasi.
Edukasi
artinya mendirikan sekolah-sekolah bagi pribumi dan akhirnya akan melahirkan
kaum cerdik pandai yang memelopori pergerakan nasional Indonesia. Irigasi artinya
mengairi sawah-sawah, namun pada praktiknya yang diairi hanya perkebunan milik
Belanda. Transmigrasi artinya memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar
Pulau Jawa, misalnya Sumatra. Namun praktiknya berubah menjadi emigrasi, yaitu
memindahkan penduduk Indonesia ke Suriname untuk kepentingan perkebunan
Belanda.
Akhirnya, tanam paksa dihapuskan, diawali
dengan dikeluarkannya undang-undang
(Regrering Reglement) pada tahun 1854
tentang penghapusan perbudakan. Namun pada
praktiknya, perbudakan baru dihapuskan pada
tanggal 1 Januari 1860. Selanjutnya, pada tahun
1864 dikeluarkan Undang-Undang Keuangan
(Comptabiliteits Wet) yang mewajibkan
anggaran belanja Hindia Belanda disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan
demikian, ada pengawasan dari Badan Legislatif di Nederland. Kemudian pada tahun
1870 dikeluarkan UU Gula (Suiker Wet) dan UU Tanah (Agrarische Wet).
Tanam paksa benar-benar dihapuskan pada tahun 1917. Sebagai bukti, kewajiban
tanam kopi di Priangan, Manado, Tapanuli, dan Sumatra Barat dihapuskan.
0 komentar:
Post a Comment