Saturday, November 30, 2013

Sejarah dan Perkembangan Bank Syariah

Sejarah dan Perkembangan Bank Syariah : Alam historisnya di Indonesia, perbankan syariah lahir dari rahim MUI yang secara formal ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991. BMI sebagai bank syariah pertama boleh dikatakan sebagai anak emas dari hasil kerja keras Tim Perbankan, yang dibentuk MUI. Selanjutnya, bank syariah semakin lama mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang pesat hingga sekarang.

Embrio Bank syari’ah di Indonesia tidak lepas dari perkembangan Bank perkreditan syari’ah (BPRS) yang diperkenalkan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) pada tahun 1977 dengan istilah bank perkreditan rakyat (BPR) untuk menggulirkan kredit pedesaan bagi pembinaan lumbung desa, bank pasar, bank pegawai dan bank jenis lainnya. Peranan BPR sangat strategis untuk menyediakan dana pinjaman dalam skala kecil (kredit mikro) dan melindungi masyrakat dari praktik rentenir yang merugikan rakyat kecil. Sehingga peranan BPR sangat berarti dalam proses pembangunnan (agent of development) untuk mewujudkan pemerataan pembangunan terutama berfungsi untuk pemerataan fungsi pelayanan perbankan bagi masyrakat. 

SISTEM ekonomi syariah semakin hari perkembangannya semakin dikenal di masyarakat. Tak hanya untuk kalangan Islam semata, tetapi juga bagi mereka yang non muslim. Ini ditandai dengan makin banyaknya nasabah-nasabah pada bank yang menerapkan konsep syariah. Melihat perkembangan itu, tidak tertutup kemungkinan pada masa mendatang seluruh aspek perekonomian akan berbasiskan syariah. Ini menunjukkan nilai-nilai Islam dapat diterima di berbagai kalangan karena sifatnya yang universal, tidak eksklusif dan tentu saja memiliki output yang kompetitif dengan perbankan konvensional. Kini pun telah hadir pegadaian syariah, pembiayaan syariah, asuransi syariah dan produk-produk keuangan lainnya. Satu persamaan antara bank syariah dan bank konvensional adalah kedua-duanya berusaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Tentu saja dengan tujuan tersebut, bank syariah dituntut untuk berkembang dan menjadi lembaga finansial yang bonafid dan profesional.

Artinya, bank syariah dalam menajemen investasi dan finansial juga dituntut untuk menggunakan asas profit oriented sebagaimana bank konvensional. Maka bank syariah bukan sekedar menggunakan jalur emosional keagamaan untuk menjaring nasabahnya. Itulah salah satu persamaan yang bisa dijadikan referensi dan motivasi dalam mengembangkan kebijakan-kebijakan perbankan syariah. Di sisi lain, Bank Syariah juga mempunyai tugas dan kewajiban yang harus diembannya, yaitu menjalankan pertumbuhan ekonomi berdasarkan ketentuan syariah, dimana usaha mencari keuntungan yang sebesar-besarnya itu harus didasarkan pada pedoman yang telah ditetapkan syariah, disinilah letak simpul perbedaannya.

Dewasa ini semakin banyak bermunculan bank-bank yang menggunakan sistem syariah. Bahkan tak sedikit bank-bank syariah yang merupakan konversi dari bank-bank konvesional mapan yang mencoba sebuah alternative lain untuk menggaet nasabah sebanyak-banyaknya. Ada sejumlah alasan mengapa perbankan konvensional yang ada sekarang ini mulai melirik sistem syariah, di antaranya adalah pasar potensial karena mayoritas penduduk Indonesia beragam Islam dan dengan semakin tumbuhnya kesadaran mereka untuk berperilaku secara Islami termasuk didalamnya yaitu aspek muamalah atau bisnis. Ini diperkuat dengan keluarnya fatwa MUI tentang haramnya bunga bank. Sehingga nasabah muslim dengan kesadarannya mencari alternatif yang sesuai dengan keyakinan mereka.

Alasan kedua, yaitu sistem bagi hasil terbukti lebih menguntungkan dan tangguh dalam menghadapi goncangan krisis moneter. Belajar dari pengalaman ketika krisis moneter melanda Indonesia pada 1997, sejumlah bank konvensional goncang dan akhirnya dilikuidasi karena mengalami negative spread, yang akhirnya tidak mampu menunaikan kewajibannya kepada masyarakat.

Kebijakan bunga tinggi yang diterapkan pemerintah selama krisis berlangsung telah membuat bank-bank Konvensional (dengan sistem bunga) mengalami bunga negatif (negative spread) , Akibatnya dalam masa satu tahun saja, 64 bank terlikuidasi dan 45 lainnya bermasalah yang masuk dalam Bank Beku Operasi (BBO) yang berada di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional(BPPN). 

Hal ini terjadi karena bank harus membayar bunga simpanan nasabah yang jauh lebih tinggi dari pada bunga kredit yang diterimanya dari debitur. Kondisi tersebut tidak berpengaruh sama sekali terhadap perbankan syariah (yang memakai sistem bagi hasil). Hal ini terjadi disebabkan bank syariah tidak dibebani kewajiban untuk membayar bunga simpanan kepada para nasabahnya

.Bank syariah hanya membayar bagi hasil kepada nasabahnya sesuai dengan margin keuntungan yang diperoleh bank, dengan sistem ini bank syariah tidak akan mengalami negative spread sebagaimana dialami oleh perbankan konvensional yang memakai sistem bunga. Bisa jadi hal inilah yang menjadi pemieu suburnya perbankan syariah di Negara-negara yang berpenduduk muslimnya minoritas. Sebagai contoh, 60 persen nasabah Bank Islam di Singapura adalah non muslim. Kalangan perbankan di Eropa pun sudah melirik potensi perbankan syariah. BNP Paribas SA, bank terbesar di Peraneis telah membuka layanan Syariahnya, yang diikuti oleh UBS group, sebuah kelompok perbankan terbesar di Eropa yang berbasis di Swiss, telah mendirikan anak perusahaan yang diberi nama Noriba Bank yang juga beroperasi penuh dengan sistem syariah. 

Demikian halnya dengan HSBC dan Chase Manhattan Bank yang juga membuka window Syariah. Bahkan kini di Inggris, tengah dikembangkan konsep pembiayaan real estate dengan skema Syariah. Ini semua membuktikan bahwa konsep ekonomi Islam diminati oleh semua kalangan lintas keyakinan. Jelas ini sebuah peluang bisnis dan investasi yang menggoda. 

Masih adanya bank-bank syariah yang berbau kapitalis tentu harus menjadi perhatian semua pihak, artinya bank hanya memberikan bantuan kepada pemilik usaha besar saja, sedangkan pemilik usaha menengah ke bawah tidak mendapat bantuan sama sekali atau kecil kemungkinan mendapat hak yang sama dengan pemilik usaha bermodal besar.Padahal keadilan juga merupakan bagian dari syariatIslam.Kemudian mengoperasionalisasikan secara konsisten filosofi dasar bank syariah yang berbeda dengan filosofi dasar bank konvensional. Bahwa muarnalah atau bisnis yang dilakukan adalah dalam rangka ibadah untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Maka setiap bankir ataupun mereka yang terlibat dalarn menggiatkan perbankan syariah sudah seharusnya menggunakan kacarnata Islam dalam memandang kehidupan, tak hanya dalarn satu aspek saja. Sehingga pelaksanaan syariat Islarn tidak terkesan parsial atau pragmatis.

Peluang Perbankan Syariah
Perbankan syariah, sesungguhnya memiliki peluang yang besar untuk terus berkembang. Gubernur BI, Burhanuddin Abdulah (2005) menegaskan, 'prospek perbankan syariah di masa depan, diperkirakan akan semakin cerah.' Menarik untuk dicatat, Bank Indonesia telah merevisi proyeksi pertumbuhan aset dan jaringan kantor bank syariah. Pada tahun 2011 diperkirakan aset bank syariah mencapai Rp 171 triliun dengan share bank syariah sekitar 9,10 persen dari total bank di Indonesia (BI, 2005) dengan jumlah kantor cabang diperkirakan mencapai 817 buah. Untuk tahun 2005, menurut Ketua DSN, KH. Ma'ruf Amin (2005) akan ada tiga bank asing dan 14 BPD yang membuka layanan syariah.

Peluang yang besar dan terbuka lebar bagi perbankan syariah di Indonesia, merupakan sesuatu yang wajar. Setidaknya ada sejumlah argumentasi untuk menguatkan pendapat ini. Pertama, mayoritas penduduk Islam. Kuantitas ini, merupakan pangsa pasar yang begitu potensial. Ketika umat Islam mau memanfaatkan maka bank syariah akan berkembang lebih pesat dan dahsyat. Akan tetapi, bukan berarti menafikan pelanggan non-muslim, bahkan menjadi tantangan tersendiri bagi insan perbankan syariah untuk meraihnya. Beberapa perbankan syariah luar negeri, sudah banyak memiliki customer non-muslim. Kedua, fatwa bunga bank. Fatwa ini, dapat menjadi legitimasi bagi perbankan syariah dalam mensosialisasikan kiprahnya. Umat perlu disadarkan bahwa ada alternatif pilihan, bahkan solusi untuk menghindari bunga, berganti sistem bagi hasil (profit sharing) yang lebih berkeadilan. Walaupun tidak lantas terjebak dengan sentimen emosional keagamaan tapi tetap mengedepankan rasional profesional dengan tampilnya bank syariah yang sehat dan terpercaya. Ketiga, menggeliatnya kesadaran beragama. Hal ini ditandai dengan maraknya acara keagamaan seperti pengajian dan umroh para eksekutif dan selebritis, diskusi aktual keislaman di kampus atau masjid, termasuk kuliah subuh di radio dan televisi. Bahkan ada majelis atau instansi mengadakan acara keagamaan secara rutin. Tentunya, semua ini memberi andil cukup besar dalam menggugah kesadaran beragama, termasuk untuk menerapkan perekonomian Islam. Keempat, menjalarnya penerapan ekonomi Islam. Saat ini, hadir asuransi syariah (takaful), pegadaian syariah, MLM syariah (ahad net), koperasi syariah, pasar modal dan obligasi syariah termasuk bisnis hotel syariah. Pada gilirannya, memberi peluang begitu lebar bagi bank syariah untuk melakukan net working, sehingga akan lebih berkembang dan bisa saling menguntungkan. Kelima, berkembangnya lembaga keislaman. Kehadiran partai Islam pasca reformasi, setidaknya berpengaruh terhadap iklim kehidupan nasional. Terutama ketika politisi muslim tampil sebagai pembuat kebijakan (law maker). Diharapkan kebijakannya sesuai syariah dan mendukung penuh pada kemajuan bank syariah. Berdirinya sekolah tinggi ekonomi Islam atau sejumlah perguruan tinggi yang membuka jurusan ekonomi Islam, serta maraknya sekolah Islam unggulan merupakan saham berharga untuk mencetak kader-kader ekonom dan bankir Islam.

Tantangan Masa Depan
Di samping memanfaatkan peluang, perbankan syariah juga dituntut menghadapi berbagai tantangan, yang semakin kompleks. Seperti yang telah dipaparkan, usia perbankan syariah di Indonesia masih relatif muda, laksana 'sosok' remaja yang masih mencari 'jati diri'. Tantangan yang dihadapinya pun tidaklah ringan dan mudah. Kalamuddinsjah (2005), Regional Manager BMI Jateng/DIY, mengibaratkan membangun perbankan syariah seperti membangun jaringan transportasi kereta api yang harus dimulai dari membuat rel. Mengapa? Oleh karena menciptakan satu landasan ekonomi syariah, harus dimulai dari nol. Berbeda dengan bank nasional yang telah mapan serta dukungan penuh dari pemerintah.

Pendapat Kalamuddinsjah ini, memberi gambaran, betapa tantangan yang dihadapi bank syariah di Indonesia masih cukup berat. Secara umum, tantangan berat yang harus dipecahkan itu adalah bagaimana menjadikan industri keuangan syariah yang mapan (established), yakni perbankan syariah yang profesional, sehat dan terpercaya. Apabila diklasifikasikan, berbagai tantangan tersebut ada yang berasal dari dalam (internal), dan ada yang datang dari luar (eksternal). Tantangan dari dalam adalah sejumlah tantangan yang harus dipecahkan, berasal dari ' diri ' bank syariah sendiri. Sejumlah tantangan itu meliputi,
1. pengembangan kelembagaan. Sampai saat ini, kelembagaan perbankan syariah belum sepenuhnya mapan. Beberapa hal masih perlu dibenahi, terutama dalam manajemen, tugas dan wewenang, peraturan, dan struktur keorganisasian. Hubungan antara bank konvensional dengan unit syariahnya (subsystem) perlu diperjelas, agar sinergis. Dual banking system yang selama ini dijalankan perlu disempunakan, terutama karena belum adanya Deputi Gubernur khusus syariah. Bahkan ke depan perlu dipikirkan adanya BCS (Bank Sentral Syariah).

2. sosialisasi dan promosi. Di lapangan, cukup banyak masyarakat yang belum memahami secara utuh 'sosok' bank syariah. Meminjam istilah Adiwarman A. Karim, setidaknya ada 3 kategori nasabah, yakni loyalis syariah, loyalis konvensional dan pasar mengambang (floating market). Potensi pasar mengambang mencapai Rp 720 triliun. Persoalan pada pasar mengambang adalah ada yang sudah tahu tapi belum paham, sudah paham tapi belum percaya, sudah percaya tapi belum sepenuhnya berpartisipasi. Proses sosialisasi perlu dilakukan secara continue. Promosi yang gencar dan menarik dengan memanfaatkan berbagai media, baik media bellow the line (event-event, seminar, brochure, spanduk, umbul-umbul) maupun media above the line (televisi, radio, koran, majalah). Promosi via televisi nampaknya masih jarang. Padahal promosi lewat media ini cukup efektif untuk pembentukan branch image dan branch awareness. Yang perlu digarisbawahi bahwa, sosialisasi dan promosi itu harus mampu membentuk image dan dapat mengubah pilihan pasar mengambang pada bank syariah

3. perluasan jaringan kantor. Indonesia memiliki wilayah yang amat luas. Akan tetapi jumlah kantor syariah yang beroperasi hingga ke pelosok masih kurang. Rizqullah, praktisi BNI Syariah (Republika, 2005) mengakui, ' salah satu kendala pertumbuhan bank syariah adalah masih terbatasnya jaringan.' Tantangan ini barangkali dapat dipecahkan dengan cara mensupport pemerintah mendirikan bank syariah, optimalisasi outlet pada setiap bank konvensional dan bank asing atau menggolkan konversi bank BUMN besar menjadi bank syariah.

4. peningkatan SDM. Harus diakui secara jujur, bahwa sumber daya insani perbankan syariah yang profesional, amanah, dan berkualitas belum sepenuhnya tersedia. Insan perbankan yang berkualifikasi syariah handal masih jarang. Nampaknya, sebagian besar SDM terutama level menengah ke atas masih hasil didikan ekonomi konvensional. Padahal, yang dibutuhkan bukan hanya menguasai ekonomi/perbankan modern, tetapi sekaligus paham fiqih (syariah) serta mampu berinovasi dalam menyelesaikan 'pernak-penik' persoalan bank syariah yang sistemnya masih baru. Training, workshop, seminar, studi banding, serta berbagai pembinaan lain untuk meningkatkan kompetensi SDM harus mendapat perhatian serius.

5. Peningkatan modal. Tantangan ini masih dirasakan oleh bank syariah di Indonesia. Ungkapan Ma'ruf Amin (2005) perlu direnungkan, ' jika bank-bank syariah berandai melakukan suatu sindikasi dalam mendanai proyek besar, masih belum mampu.' Pernyataan seperti ini sungguh ironis, tetapi itulah kenyataannya. Para stake holder (pemegang saham) bank syariah perlu menambah modalnya, sehingga risk taking capacity-nya meningkat. Besar kecilnya kemampuan pembiayaan bank-bank syariah, amat tergantung pada kemampuan modalnya. Perlu juga nampaknya mendesak pemerintah untuk menempatkan dana besar pada bank syariah.

6. peningkatan pelayanan. Perbankan syariah perlu terus meningkatkan kualitas pelayanannya. Prinsip pelayanan yang ramah, mudah, cepat dan murah harus menjadi trade mark bank syariah. Ramah dalam melayani, mudah dan cepat dalam proses, serta murah dalam biaya (administrasi). Begitu pula upaya mempermudah akses informasi dan pengambilan uang atau tabungan harus ditingkatkan. Pemanfaatan online internet dan ketersedian fasilitas ATM di berbagai lokasi strategis dan mudah terjangkau, merupakan keniscayaan. Ketujuh, pembinaan dan pengawasan. Dalam operasionalnya di lapangan, bank syariah harus terus dibina dan sekaligus diawasi. Dibina untuk lebih berkembang, diawasi agar tidak timbul penyimpangan. Pengawasan pada bank syariah di daerah, termasuk pada bank konvensional yang membuka syariah perlu dilakukan dengan ketat dan hati-hati. Jangan muncul kesan formalitas identitas syariah, praktek dan sistemnya tidak berbeda dengan konvensional.

Sejumlah tantangan di atas, merupakan tantangan dari dalam (internal). Usaha perbankan merupakan industri yang menjual kepercayaan. Berbagai tantangan internal itu perlu dipecahkan, sehingga masyarakat lebih percaya dan mau berpartisipasi aktif. Selanjutnya ada juga tantangan yang datang dari luar dan tidak kalah penting untuk diselesaikan.

Kesatu, belum memadainya kerangka hukum. Tantangan ini bersifat mendesak, karena akan menghambat upaya pengembangan bank syariah. RUU perbankan syariah yang tengah digodok perlu diperjuangkan untuk segera diundangkan. Aturan tentang pasar modal syariah, surat utang negara syariah, obligasi syariah serta aturan lain sangat penting. Intinya, semua aturan yang akan memberikan ruang gerak lebih luas bagi pelaku bisnis syariah.

Kedua, dukungan pemerintah belum penuh. Pemerintah mendukung keberadaan perbankan syariah, tetapi dalam tataran kebijakan (political will) dan keseriusan (good will) belum optimal. Para menteri, gubernur, bupati belum memberi tempat yang layak. Di BI (bank Indonesia) belum ada Deputi Gubernur khusus syariah. Selayaknya, Dewan Syariah Nasional dan bankir syariah melakukan lobi-lobi dan pendekatan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar dukungan konkret dan nyata pada perbankan syariah dapat terealisasikan.

Ketiga, sinisme masyarakat. Tidak terelakkan, masih ada masyarakat yang memandang dengan senyum sinis. Terjadi mis-persepsi, seolah bank syariah itu eklusif (untuk umat Islam), sistem bagi hasil kurang menguntungkan dan susah prosesnya. Bank syariah perlu mempromosikan dirinya secara simpatik dan memikat. Berusaha mengubah mindset mereka dan yang penting mampu menampilkan sosok bank syariah yang profesional, berkualitas dan menguntungkan.

Tantangan dari luar bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi. Berbagai tantangan diharapkan akan memotivasi setiap insan perbankan syariah untuk terus belajar dan berkarya.

0 komentar:

 

Copyright © ILMU KAULA Design by O Pregador | Powered by Blogger