a. Berdirinya Kerajaan Majapahit
Ketika Singasari jatuh ke tangan Jayakatwang, Raden Wijaya (menantu
Kertanegara) lari ke Madura. Atas bantuan Arya Wiraraja, ia diterima kembali dengan
baik oleh Jayakatwang dan diberi sebidang tanah di Tarik (Mojokerto). Ketika tentara
Kublai Khan menyerbu Singasari, Raden Wijaya berpura-pura membantu menyerang
Jayakatwang. Namun, setelah Jayakatwang dibunuh, Raden Wijaya berbalik menyerang
tentara Mongol dan berhasil mengusirnya. Setelah itu, Raden Wijaya mendirikan
Kerajaan Majapahit (1293) dan menobatkan dirinya dengan gelar Sri Kertarajasa
Jayawardhana.
b. Perkembangan politik
1) Pemerintahan Kertarajasa
Untuk meredam kemungkinan terjadinya pemberontakan, Raden Wijaya
(Kertarajasa) melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
a) Mengawini empat putri Kertanegara dengan tujuan mencegah terjadinya
perebutan kekuasaan antaranggota keluarga raja. Putri sulung Kertanegara,
Dyah Sri Tribhuaneswari, dijadikan permaisuri dan putra dari pernikahan
tersebut Jayanegara, dijadikan putra mahkota. Putri bungsu Kertanegara, Dyah
Dewi Gayatri dijadikan Rajapatni. Dari putri ini, Kertarajasa memiliki dua
putri, Tribhuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani diangkat menjadi Bhre
Kahuripan dan Rajadewi Maharajasa diangkat menjadi Bhre Daha. Adapun
kedua putri Kertanegara lainnya yang dinikahi Kertarajasa adalah Dyah Dewi
Narendraduhita dan Dyah Dewi Prajnaparamita. Dari kedua putri ini, Kertarajasa
tidak mempunyai putra.
b) Memberikan kedudukan dan hadiah yang pantas kepada para pendukungnya,
misalnya, Lurah Kudadu memperoleh tanah di Surabaya dan Arya Wiraraja
diberi kekuasaan atas daerah Lumajang sampai Blambangan.
Kepemimpinan Kertarajasa yang cukup bijaksana menyebabkan kerajaan
menjadi aman dan tenteram. Ia wafat pada tahun 1309 dan dimakamkan di
Sumping (Blitar) sebagai Syiwa dan di Antahpura (dalam kota Majapahit) sebagai
Buddha. Arca perwujudannya adalah Harikaya, yaitu Wisnu dan Syiwa digambarkan
dalam satu arca. Penggantinya adalah Jayanegara.
2) Pemerintahan Jayanegara
Masa pemerintahan Jayanegara dipenuhi pemberontakan akibat kepemimpinannya
kurang berwibawa dan kurang bijaksana. Pemberontakan-pemberontakan
itu sebagai berikut.
a) Pemberontakan Ranggalawe pada tahun 1231. Pemberontakan ini dapat
dipadamkan pada tahun 1309.
b) Pemberontakan Lembu Sora
pada tahun 1311.
c) Pemberontakan Juru Demung
(1313) disusul Pemberontakan
Gajah Biru.
d) Pemberontakan Nambi pada tahun
1319. Nambi adalah Rakryan
Patih Majapahit sendiri.
e) Pemberontakan Kuti pada
tahun 1319. Pemberontakan ini
adalah yang paling besar dan berbahaya. Kuti berhasil menduduki ibu kota
kerajaan sehingga Jayanegara terpaksa melarikan diri ke daerah Bedander.
Jayanegara kemudian dilindungi oleh pasukan Bhayangkari pimpinan Gajah
Mada. Berkat kepemimpinan Gajah Mada, Pemberontakan Kuti dapat
dipadamkan.
Namun, meskipun berbagai pemberontakan tersebut berhasil dipadamkan,
Jayanegara justru meninggal akibat dibunuh oleh salah seorang tabibnya yang
bernama Tanca. Ia lalu dimakamkan di candi Singgapura di Kapopongan.
3) Pemerintahan Tribhuwanatunggadewi
Oleh karena Jayanegara tidak berputra, sementara Gayatri sebagai Rajapatni
telah menjadi biksuni, takhta Kerajaan Majapahit diserahkan kepada Tribhuwanatunggadewi
Jayawisnuwardhana (1328 – 1350) yang menjalankan
pemerintahan dibantu suaminya, Kertawardhana. Masa pemerintahan
Tribhuwanatunggadewi diwarnai permasalahan dalam negeri, yakni meletusnya
Pemberontakan Sadeng. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada
yang pada saat itu baru saja diangkat menjadi Patih Daha.
4) Pemerintahan Hayam Wuruk
Tribhuwanatunggadewi terpaksa turun takhta pada tahun 1350 sebab Rajapatni
Dyah Dewi Gayatri wafat. Penggantinya adalah putranya yang bernama Hayam
Wuruk yang lahir pada tahun 1334. Hayam Wuruk naik takhta pada usia 16 tahun
dengan gelar Rajasanegara. Dalam menjalankan pemerintahan, ia didampingi oleh
Mahapatih Gajah Mada.
Dalam kitab Negarakertagama
disebutkan bahwa pada
zaman Hayam Wuruk, Kerajaan
Majapahit mengalami masa
kejayaan dan memiliki wilayah
yang sangat luas. Luas kekuasaan
Majapahit pada saat itu hampir
sama dengan luas negara Republik Indonesia sekarang. Namun, sepeninggal
Gajah Mada yang wafat pada tahun 1364, Hayam Wuruk tidak berhasil mendapatkan
penggantinya yang setara. Kerajaan Majapahit pun mulai mengalami kemunduran.
Kondisi Majapahit berada di ambang kehancuran ketika Hayam Wuruk juga wafat
pada tahun 1389. Sepeninggalnya, Majapahit sering dilanda perang saudara dan
satu per satu daerah kekuasaan Majapahit pun melepaskan diri. Seiring dengan itu,
muncul kerajaan-kerajaan Islam di pesisir. Pada tahun 1526, Kerajaan Majapahit
runtuh setelah diserbu oleh pasukan Islam dari Demak di bawah pimpinan Raden
Patah.
c. Struktur pemerintahan
Dalam struktur pemerintahan di Majapahit, raja dianggap sebagai penjelmaan
dewa dan memegang kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan. Roda pemerintahan
dijalankan raja dibantu oleh putra raja, kerabat raja, dan beberapa pejabat pemerintah.
Sebelum menduduki jabatan raja, putra mahkota biasanya diberi kekuasaan sebagai
raja muda (Rajakumara atau Yuwaraja). Contohnya, sebelum dinobatkan menjadi
raja, Hayam Wuruk lebih dahulu diangkat sebagai Rajakumara yang berkedudukan
di Jimna.
Raja juga dibantu oleh dewan pertimbangan kerajaan atau Bhatara Saptaprabu.
Tugas lembaga ini adalah memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada raja.
Anggota dewan ini adalah para sanak saudara raja. Untuk masalah-masalah keagamaan,
raja dibantu oleh dewan yang disebut Dharmadyaksa. Dharmadyaksa ri Kasainan
bertugas menangani urusan agama Syiwa dan Dharmadyaksa ri Kasogatan bertugas
menangani urusan agama Buddha. Para pejabat keagamaan ini dibantu oleh tujuh
Dharma Upapati, yaitu Sang Panget i Tirwan, i Kandamulri, i Mangkuri, i Paratan,
i Jambi, i Kandangan Rase, dan i Kandangan Atuha. Selain sebagai pejabat
keagamaan, mereka juga merupakan kelompok cendekiawan.
Tiga lembaga pemerintahan tingkat atas di Majapahit sebagai berikut.
1) Sapta Prabu, merupakan sebuah dewan kerajaan. Anggota dewan ini adalah
keluarga raja yang bertugas mengurusi soal keluarga raja, penggantian mahkota,
dan urusan-urusan negara yang berhubungan dengan kebijaksanaan negara.
2) Dewan Menteri Besar, menerima perintah raja. Anggotanya berjumlah lima orang
dan dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada. Dewan ini bertugas mengepalai urusan
tata negara merangkap urusan angkatan perang dan kebijaksanaan.
3) Dewan Menteri Kecil, melanjutkan perintah raja. Beranggotakan tiga orang dan
bertugas sebagai pelaksana kebijaksanaan raja.
Di tingkat tengah terdapat pemerintahan daerah yang dikepalai oleh bupati.
Daerah ini biasanya disebut mancanegara. Adapun di tingkat bawah terdapat
pemerintahan desa yang dikepalai seorang kepala desa. Di samping itu, masih ada
jabatan raja-raja daerah atau disebut Paduka Bhatara. Mereka memerintah negaranegara
daerah jajahan dibantu sejumlah pejabat daerah.
Raja Majapahit juga dibantu oleh tiga mahamenteri, yakni i Hino, i Halu, dan i
Sirikan. Biasanya yang diangkat untuk menduduki jabatan ini adalah putra raja.
Mahamenteri i Hino memiliki kedudukan paling tinggi karena di samping memiliki
hubungan erat dengan raja, ia juga dapat mengeluarkan prasasti-prasasti. Para
mahamenteri ini dibantu oleh para Rakryan Mantri atau sekelompok pejabat tinggi
kerajaan yang merupakan badan pelaksana pemerintahan. Badan ini terdiri atas lima
orang, yaitu Patih Amangkubumi, Rakyan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan
Rangga, dan Rakryan Kanuruhan. Kelima pejabat ini disebut Sang Panca ri
Wilwatikta atau Mantri Amancanegara.
d. Kehidupan kebudayaan
Zaman Majapahit menghasilkan banyak karya sastra. Periodisasi sastra masa
Majapahit dibedakan menjadi dua, yaitu sastra zaman Majapahit awal dan sastra
zaman Majapahit akhir.
Karya sastra zaman Majapahit awal adalah kitab Negarakertagama karangan
Mpu Prapanca (1365), kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular, kitab Arjuna
Wiwaha karangan Mpu Tantular, kitab Kunjarakama (anonim), dan kitab Parthayajna
(anonim).
Karya sastra zaman Majapahit akhir ditulis dengan bahasa Jawa dalam bentuk
tembang (kidung) dan gancaran (prosa). Karya-karya sastra pada zaman ini adalah
kitab Pararaton yang berisi tentang riwayat raja-raja Majapahit, kitab Sundayana
berisi tentang Peristiwa Bubat, kitab Surandaka menceritakan tentang Pemberontakan
Sora di Lumajang, kitab Ranggalawe tentang Pemberontaan Ranggalawe dari Tuban,
kitab Panji Wijayakrama berisi tentang riwayat Raden Wijaya, kitab Vsana Jawa
menceritakan tentang penaklukkan Bali oleh Gajah Mada, kitab Usana Bali
mengisahkan tentang kekacauan Bali akibat keganasan Maya Danawa, kitab
Pamancangah, kitab Panggelaran, kitab Calon Arang, dan kitab Korawasrama.
Jenis peninggalan kebudayaan yang lain dari Kerajaan Majapahit adalah candi.
Candi-candi peninggalan Majapahit, antara lain, candi Sumberjati, candi Sanggapura,
candi Panataran, dan candi Pari di dekat Porong. Candi Pari memiliki keistimewaan,
yaitu arsitekturnya memperlihatkan adanya langgam bangunan dari Campa.
0 komentar:
Post a Comment