Linux pembuka jalan desentralisasi pengembangan teknologi informasi
Open Source adalah suatu ``certified mark'', suatu merk yang dimiliki oleh publik (tidak ada perusahaan yang bisa menguasai kepemilikan merk ini). Open Source Inisiative yang diketuai Eric Raymond dan beranggotakan para pelopor gerakan ``freeware'' telah memasyarakatkan ``Open Source Definition'' yang menjabarkan jenis lisensi manakah yang pantas disebut dengan produk Open Source. Bila para pembuat software komersial melindungi produk mereka dengan teknologi enkripsi dan pengacara hak cipta, maka pada model Open Source ini source code dari produk diberikan secara bebas, tersedia bagi siapa saja untuk menggunakan, memodifikasi, menguji atau mengembangkan lebih jauh.
Perkembangan Open Source sendiri tak dapat dipisahkan dengan GNU/Linux yang merupakan sistem operasi yang paling cross platform (tersedia untuk beragam jenis mesin). (Bollinger dan Beckman, 1999). Open Source dan Linux sendiri telah menunjukkan bahwa adanya kemungkinan mencapai hasil yang tidak mungkin dihasilkan oleh sistem pengembangan perangkat lunak secara konvensional. Pengembangan Linux dilakukan bukan oleh perusahaan besar tetapi oleh individu-individu bebas yang tersebar di seluruh dunia. Hal ini sesuai dengan prediksi yang diutarakan oleh Brown (1995), yang menyatakan pada dekade mendatang proses pengembangan aplikasi perangkat lunak akan bergeser dari kaum ``elite'' ke kaum ``proletar''. Terjadi pergeseran dari produk jadi yang dihasilkan oleh perusahaan besar secara massa ke produk yang disesuaikan untuk kebutuhan individu.
Negara-negara berkembang memiliki keterbatasan untuk mengembangkan teknologi. Baik dari segi kemampuan SDM, biaya maupun keterbatasan akses informasi. Hal ini diilustrasikan pada kutipan berikut ini :
This is the context for intellectual property rights enforcement. This world market is knowledge is a major and profoundly anti-democratic new stage of capitalist development. The transformation of knowledge ito property necessarily implies secrecy: common knowledge is no longer privte. In this new and chiling stage, communication itself violaters property rights. The WTO is transforming what was previously a universal resource of the human race - its collectively, historically and freely-developed knowledge of itslef and nature - into private and marketable force of production (Allan Freeman, Fixing up the world ? GATT and the World Trade Organization)
Open Source membuka jalan sehingga memungkinkan negara berkembang memiliki akses informasi yang lebar dan dapat melakukan pemanfaatan semaksimal mungkin untuk mendorong industri teknologi informasi lokal.
Pengembangan Teknologi Informasi
Sentralisasi pengembangan teknologi informasi
Ketika berbicara mengenai sentralisasi seringkali kita lebih memfokuskan diri pada aspek antara pusat dan daerah. Seringkali kita melupakan aspek sentralisasi dalam kajian global.
Diambil kutipan dari wawancara Alan Cox pada Q: One of the beautiful things about Linux is its international flavour. Linus Torvalds is from Finland, you're from Britain. It's not California -centric, as so much software is. How important is this to the Linux community, and Linux users?
A: It's very, very important to a lot of countries, especially Third World countries, because American software is expensive. With Linux, developing nations can download the operating system, modify it to suit their needs, make copies, and no money flows out of the country.
Sebagai contoh bentuk sentralisasi yang tidak dirasakan adalah pola aliran koneksi Internet seperti yang digambarkan pada gambar di bawah ini ini :
Gambar Sentralisasi jaringan Internet
Barrier untuk mengembangkan teknologi informasi
Salah satu barrier atau hambatan yang cukup dirasakan bagi pengembangan teknologi informasi antara lain:
Masih dikuasainya hak pengembangan dan modifikasi perangkat lunak oleh vendor besar. Sehingga para konsumen ataupun calon pengembang haruslah melewati jalur yang panjang dan membutuhkan biaya tinggi untuk menjadi solution provider di dunia Teknologi Informasi. Biaya ini sangat membebani untuk keperluan investasi awal, dan produksi selanjutnya.
Biaya perangkat lunak yang digunakan untuk mengembangkan produk teknologi informasi masihlah sangat tinggi, misal harga sistem operasi, harga kompiler, harga development tool. Di tambah biaya komponen perangkat lunak yang mau tidak mau dimasukkan ke dalam produk jadi. Sebagai contoh misal membangun suatu sistem Point of Sale (POS) yang berbasiskan sistem operasi komersial, mau tidak mau komponen harga sistem operasi tersebut akan dimasukkan ke dalam harga akhir dari perangkat POS yang dikembangkan tersebut.
Biaya memperoleh informasi pendukung yang tersedia yang sangat dibutuhkan oleh developer. Hal ini lazim dikenal sebagai Developer Network Subscription Fee. Sehingga apabila kita ingin menjadi pengembang teknologi informasi, agar dapat dilakukan akses kepada informasi-informasi penting biaya ini haruslah diperhitungkan.
Biaya pelatihan yang sangat tinggi agar memenuhi suatu syarat sertifikasi dari vendor sehingga dapat dipercaya untuk menjadi solution provider ataupun trainning provider.
Biaya-biaya atas jelas menghambat keinginan pengguna yang antusias terjun mejadi pengembang teknologi informasi yang handal dan dikenal dunia. Di samping itu juga penguasaan secara sentral hak akses kepada pasar, serta pengakuan kerja menjadikan para pengembang TI di Indonesia kurang terdengar kiprahnya di dunia internasional, karena harus melalui tahapan-tahapan memutar yang membutuhkan biaya yang cukup besar. Sebelum akhirnya dapat menghasilkan suatu produk teknologi informasi.
Di samping barier finansial terdapat juga barier hukum yang mau tidak mau harus dipertimbangkan dalam mengembangkan teknologi informasi lokal. Sebagai contoh dikutipkan definisi PEMBAJAKAN menurut salah satu perusahaan perangkat lunak besar, Microsoft di Indonesia
Anti-Piracy (Bahasa Indonesia)
Berbagai bentuk Pembajakan Piranti lunak:
1.Pemuatan Hard Disk (Hard Disk loading)
Terjadi saat penjual komputer memuat salinan program piranti lunak yang tidak sah ke hard disk komputer yang akan dibeli oleh konsumen, sebagai rangsangan bagi konsumen untuk membeli perangkat PC dari penjual tersebut. Penjual ini tidak menyediakan disket/CD-ROM asli, dokumentasi atau persetujuan lisensi, yang seharusnya diberikan bersama-sama dengan copy program yang legal. Dengan demikian konsumen tanpa mereka sadari menerima piranti lunak ilegal yang telah diinstal di Hard Disk.
2.Softlifting
Tejadi jika copy ekstra piranti lunak dibuat di dalam suatu lembaga untuk dipakai oleh karyawannya atau untuk dibawa pulang. Menukarkan disket/CD dengan rekan rekan di dalam maupun di luar perusahaan juga termasuk dalam kategori pembajakan ini.
3.Pemalsuan piranti lunak (Software counterfeiting)
Penggandaan ilegal seluruh paket p iranti lunak dan dijual dalam kemasan yang dibuat sedemikian rupa sehingga tampak asli. Bentuk lainn pembajakan ini adalah kompilasi berbagai judul piranti lunak tiruan yang dikemas dalam satu CD-ROM secara ilegal dan dipasarkan dengan nama yang berbeda. Berbeda dengan pelanggaran yang terjadi dalam perusahaan, pemalsu piranti lunak beroperasi murni untuk keuntungan, tanpa mengindahkan pemilik hak cipta produk yang dipalsukan.
4.Penyewaan piranti lunak
Dikenal tiga bentuk pembajakan melalui penyewaan piranti lunak : produk yang disewa untuk digunakan pada komputer di rumah atau di kantor penyewa; produk yang disewakan melalui mail order dan produk yang dimuat dalam komputer yang disewa untuk waktu terbatas.
5.Downloading ilegal melalui BBS/Internet
Terjadi melalui downloading piranti lunak sah melalui hubungan modem ke buletin elektronik adalah bentuk lain pembajakan. Pembajakan ini tidak sama dan jangan disalah artikan dengan penggunaan piranti lunak yang diberikan di public domain, ataupun fasilitas shareware yang digunakan bersama.
Dari batasan piracy di atas tampak bahwa pengguna yang ingin memanfaatkan program informasi untuk mengembangkan pemanfaatan teknoloogi informasi akan mengalami hambatan yang cukup besar. Hambatan tersebut dikarenakan dikuasainya hak pengembangan secara sentral oleh suatu institusi. Sehingga sulit sekali pelaku bisnis TI lokal untuk mengembangkan secara optimal kemampuannya tanpa melakukan pelanggaran hukum. Sebagai contoh :
· Dari point 1, jelas para penjual komputer yang ingin menjual komputer yang telah disertai dengan perangkat lunak (Pre-installed) akan mengalami hambatan yang cukup berarti. Apabila para penjual tersebut ingin menyertakan software asli yang terinstall pada sistem komputer tersebut, maka mau tidak mau dia harus membeli lisensi yang cukup berharga mahal (minimal 100 USD). Hal ini belum termasuk perangkat lunak aplikasi lainnya. Sehingga paling tidak untuk menyediakan jasa penjualan pre-installed haruslah disisihkan dana yang cukup tinggi yang akhirnya dibebankan ke para pembeli. Jalan pintas yang sering dilakukan adalah dengan cara melakukan instalasi program ``as-pal'' (asli tapi palsu), jadi satu salinan program asli diinstal di banyak komputer yang dijual. Secara hukum dan etika hal ini tak dapat dibenarkan.
· Pemakaian bersama (biaya tinggi). Bagi suatu insitusi seperti sekolah, ataupun lembaga pemerintahan pembelian perangkat lunak untuk tiap komputer di institusi tersebut akan menyebabkan ongkos yang cukup tinggi untuk pembelian perangkat lunak. Hal ini menyebabkan banyak institusi mengambil jalan pintas dengan melakukan ``pelanggaran'' yaitu dengan membeli versi asli satu buah dan menggunakan banyak salinannya di komputer laionnya. Jelas secara etika hal ini tak dapat dibenarkan (Wiryana, 1998).
· Praktek penggandaan program secara ilegal banyak sekali dijumpai di Indonesia, sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara pada peringkat atas pembajak. Hal ini menimbulkan image yang kurang baik bagi dunia Teknologi Informasi.
· Pada point berikutnya, hal ini sering dilakukan secara tidak sadar. Sebagai contoh pada Warung Internet, ataupun penyedia jasa layanan penyewaan perangkat komputer yang sering dijumpai di sekitar kampus. Secara tidak sadar, walaupun program yang digunakan adalah asli tetap merupakan pembajakan, karena termasuk ``menyewakan'' perangkat lunak.
Dari contoh di atas, jelas adanya keterbatasan pemanfaatan dari perangkat lunak baik digunakan untuk keperluan sehari-hari ataupun untuk digunakan sebagai alat produksi. Sekarang bagaimana cara mengatasi hal tersebut agar kita dapat menghilangkan timbulnya praktek pelanggaran hukum ini. Pilihan yang ada adalah :
· Membeli perangkat lunak asli dan menggunakannya sesuai dengan batas yang ada dan tertera pada lisensi perangkat lunak tersebut. Hal ini jelas berdampak pada biaya yang tidak sedikit dan hal ini nampaknya sangatlah kurang bijaksana pada situasi ekonomi saat ini.
· Memanfaatkan program Open Source yang memberikan keleluasan tanpa harus melanggar hukum. Hal ini dimungkinkan karena program Open Soure memungkinkan pengguna memperbanyak ataupun mengubah program sesuai dengan yang diinginkannya.
Di samping faktor ekonomi dan hukum ternyata Open Source menimbulkan beberapa faktor-faktor non teknis yang disebabkan gaya pengembanganyannya.
0 komentar:
Post a Comment