Dalam pandangan rakyat pada masa Hindu-Buddha, raja diidentikkan dengan dewa
(kultus dewa raja). Dalam diri raja terdapat roh dewa yang mengendalikan pribadinya.
Negara dianggap sebagai citra kerajaan para dewa. Raja memiliki kekuasaan yang tidak
terbatas.
Setelah zaman Islam, kultus dewa raja sudah tidak berlaku. Hal ini terjadi karena
agama Islam menempatkan raja sebagai penyebar agama Islam. Manusia yang terpilih
sebagai wali akan mendapatkan tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk kalifatullah (wali
Tuhan), yaitu perlambang-perlambang tertentu. Berdasarkan hal itu, seorang raja harus
memiliki legitimasi (pengesahan) dari Tuhan. Bentuk legitimasi ini oleh orang Jawa disebut
wahyu (pulung). Seseorang yang telah mendapat wahyu keraton akan menjadi penguasa
seluruh tanah Jawa. Seorang raja harus memiliki perlambang-perlambang dengan kekuatan
magis. Misalnya dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa takhta Kerajaan Majapahit
harus diduduki terlebih dahulu oleh Sunan Giri selama 40 hari untuk menolak bala sebelum
diserahkan kepada Raden Patah. Perlambang lain yang dapat menunjukkan kekuatan
magis menurut Babad Tanah Jawi adalah gong.
Sementara itu di Kerajaan Ternate, benda yang diyakini memiliki kekuatan magis
adalah mahkota, kereta kerajaan, payung, keris, dan pedang. Adapun benda pusaka di
Kerajaan Banjar adalah payung, kursi, dan mahkota.
Kepercayaan adanya tanda-tanda tersebut sama sekali tidak diajarkan dalam Islam.
Hal itu merupakan tradisi pra-Islam (Hindu-Buddha) yang masih tetap dipercaya pada
zaman Islam, bahkan pada saat ini pun masih ada sekelompok masyarakat yang
memercayainya.
Browse » Home
» Sejarah
» Perbandingan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dengan kerajaan-kerajaan Islam
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment