Monday, October 5, 2015

Perbandingan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dengan kerajaan-kerajaan Islam

Dalam pandangan rakyat pada masa Hindu-Buddha, raja diidentikkan dengan dewa (kultus dewa raja). Dalam diri raja terdapat roh dewa yang mengendalikan pribadinya. Negara dianggap sebagai citra kerajaan para dewa. Raja memiliki kekuasaan yang tidak terbatas. Setelah zaman Islam, kultus dewa raja sudah tidak berlaku. Hal ini terjadi karena agama Islam menempatkan raja sebagai penyebar agama Islam. Manusia yang terpilih sebagai wali akan mendapatkan tanda khusus dari Tuhan dalam bentuk kalifatullah (wali Tuhan), yaitu perlambang-perlambang tertentu. Berdasarkan hal itu, seorang raja harus memiliki legitimasi (pengesahan) dari Tuhan. Bentuk legitimasi ini oleh orang Jawa disebut wahyu (pulung). Seseorang yang telah mendapat wahyu keraton akan menjadi penguasa seluruh tanah Jawa. Seorang raja harus memiliki perlambang-perlambang dengan kekuatan magis. Misalnya dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan bahwa takhta Kerajaan Majapahit harus diduduki terlebih dahulu oleh Sunan Giri selama 40 hari untuk menolak bala sebelum diserahkan kepada Raden Patah. Perlambang lain yang dapat menunjukkan kekuatan magis menurut Babad Tanah Jawi adalah gong. Sementara itu di Kerajaan Ternate, benda yang diyakini memiliki kekuatan magis adalah mahkota, kereta kerajaan, payung, keris, dan pedang. Adapun benda pusaka di Kerajaan Banjar adalah payung, kursi, dan mahkota. Kepercayaan adanya tanda-tanda tersebut sama sekali tidak diajarkan dalam Islam. Hal itu merupakan tradisi pra-Islam (Hindu-Buddha) yang masih tetap dipercaya pada zaman Islam, bahkan pada saat ini pun masih ada sekelompok masyarakat yang memercayainya.

0 komentar:

 

Copyright © ILMU KAULA Design by O Pregador | Powered by Blogger