Friday, November 29, 2013

Psikologi Kultural Dan Semiotik, Arti Yang Bertentangan Dalam Praktek Pendidikan

Psikologi Kultural Dan Semiotik, Arti Yang Bertentangan Dalam Praktek Pendidikan : Publikasi dari rangkaian artikel khusus tentang budaya dan pendidikan ini mencapai tiga tujuan. Yang pertama adalah untuk melanjutkan pembahasan tenang dasar kultural yang penting dari pendidikan yang mulai dengan masalah khusus dari Canadian Journal of Education tentang pendidikan Aborigin (volume 19, nomor 2; Musim semi 2004). Yang ke dua adalah untuk menunjukkan bahwa prinsip-prinsip dari pembuatan arti yang ditampilkan dalam budaya-budaya Aboriginal adalah serupa dengan yang mendasari pendekatan-pendekatan utama untuk pendidikan. Tujuan yang ke tiga dari masalah khusus ini adalah untuk menjelaskan bagaimana perspektif dan agenda dari psikologi kultural didukung oleh semiotik, sebuah tradisi yang paralel dan melampaui dari pendidikan yang memiliki inti penyesuaian arti dan pembuatan arti. 

Dalam pendahuluan ini, saya membuat sketsa beberapa sejarah dan pernyataan utama dari psikologi kultural dan semiotik dan menyebutkan beberapa masalah penting yang muncul dari masing-masing dari keempat artikel yang mengikuti.

PSIKOLOGI KULTURAL
Meskipun ada antusiasme saat ini dari para peneliti dalam bidang pendidikan untuk topik-topik yang dipandang sebagai inti dari psikologi kultural, seperti konstruktivisme sosial, kognisi tersituasi (lihat Seely Brown, Collins, dan Duguid, 1990), dan kognisi tersebar (lihat Cole & Engestrom, 1993), subyek-subyek ini sekarang tidaklah baru. Dalam kenyataannya, studi tentang pembuatan arti dan dasarnya dalam pengalaman sosio kultural adalah sebuah tradisi tua bahkan dalam ilmu pengetahuan barat. Sebagai contoh, hampir 300-an tahun yang lalu, Giambattista Vico (1668-1744) menekankan dasar-dasar kultural historis dari mentalitas manusia dengan menjelaskan humanitas seseorang sebagai sebuah rakitan dari hubungan-hubungan sosial.

Selanjutnya, pada tahun 1851, Moritz Lazarus (1824-1903) menamai sebuah bidang baru untuk studi, Volkerpsychologie, yang dia interpretasikan sebagai studi fenomena mental kolektif. Beberapa tahun selanjutnya, pada tahun 1860, Lazarus dinamai sebagai untuk kursi pertama dari psikologi dimana saja, ketika dia menjadi profesor dari Volkerpsychologie di Bern (Jahoda, 2003). Ini hampir selalu menjadi sebuah generasi sebelum pendirian laboratorium psikologi pertama pada tahun 1879 oleh Wilhelm Wundt (1832-1920), yang juga memiliki minat berlangsung lama dan membuat kontribusi yang besar untuk bidang Volkerpsychologie. Hajim Steinthal (1823-2899) dan Wilhelm Dilthey (1833-1911) adalah sebagian dari kontributor penting untuk versi-versi dari psikologi ‘rakyat’ dari era yang sama ini (Jahoda, 2003).

Akar dari psikologi kultural yang ada saat ini dipandang paling jelas, bagaimanapun juga, dalam satu garis khusus dari ilmu pengetahuan: sekolah sosio historis Rusia tentang pemikiran yang diwakili awalnya oleh Aleksei Leontiev (1904-1979), Aleksandr Luria (1902-1977), dan khususnya Lev Vygotsky (1896-1934). Meskipun kematian awal Vygotsky karena tuberkulosis dan penghentian Stalinist untuk tulisan-tulisannya selama 20 tahun (Blanck, 2000), teori dan penelitiannya yang penuh pandangan telah bertahan lama untuk mempengaruhi penelitian pendidikan barat – khususnya selama 15 tahun terakhir.

Paling tidak tiga pernyataan utama menjadi inti dari rumusan-rumusan Vygotsky, 1978. Pertama, manusia berhubungan dengan dunia fisik dan berhubungan satu dengan yang lain oleh karena proses-proses mediasi kultural, mediasi yang dicapai menggunakan alat-alat atau tanda-tanda psikologi (sebagai contoh, musik dan bahasa) dan alat-alat teknis (Sebagai contoh, cangkul dan palu) dari budaya sekeliling. Ke dua, mediasi kultural dan oleh karena itu juga fungsi-fungsi psikologi manusia adalah fenomena historis yang mengalami perubahan terus menerus dan sepanjang kehidupannya. Ke tiga, fungsi-fungsi psikologi manusia muncul dari aktivitas praktek dalam konteks-konteks khusus. Sebuah tema yang mencakupnya melibatkan perhatian tentang kognisi sebagai sebuah fenomena kelompok, dan bukan individual, yang didistribusikan. Saat ini pernyataan-pernyataan ini diambil sebagai inti untuk psikologi dan diwakili dalam berbagai tingkat dalam masing-masing artikel dalam masalah khusus ini. 

SEMIOTIK
Sekitar tahun 1897, [Charles Sanders Peirce] (1839-1914), biasanya dianggap sebagai pendiri utama dari semiotik modern, menjelaskan semiotik sebagai “doktrin formal untuk tanda-tanda”. Saat ini, semiotik (kata jamak dianggap sebagai yang diperkenalkan oleh Margaret Mead pada tahun 1992) ditentukan sebagai doktrin, atau studi, atau ilmu pengetahuan tentang tanda-tanda. Lebih tidak formal, semiotik dapat dijelaskan sebagai studi akan semua sistem tanda (antara subyek-subyek yang berbeda seperti arsitektur, bahasa, tarian, dan gambaran-gambaran media) dan simbol-simbol (yang menjadi kasus khusus dari tanda-tanda) dan juga studi tentang bagaimana tanda-tanda digunakan dalam membuat arti dan pesan. Di Amerika Utara dan Eropa, bidang-bidang yang paling aktif dari penelitian semiotik saat ini mulai dengan pemikiran seminal Peirce. Oleh karena itu, perspektif Peircean dalam semiotik ditekankan dalam pendahuluan ini dan dalam artikel-artikel oleh Haas dan Rogers.

Definisi Peirce tentang tanda yang paling banyak dikutip mulai sebagia berikut: “Sebuah tanda adalah sesuatu yang berarti untuk seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas”. Dalam definisi lengkapnya (lihat Siegel, masalah tentang Canadian Journal of Education, untuk pembahasan yang lebih lengkap), Peirce memperkenalkan tiga rangkaian (triad) tanda yang tidak dapat dikurangi yang tersusun dari obyek-tanda-interpretant (atau obyek-representamen-interpretant). Rumusan ini biasanya berlawanan dengan hubungan diadik dari Ferdinand de Saussure yang dikabarkan untuk semiologi dan dipakai untuk linguistik (de Saussure, 1959). Bagaimanapun juga, tiga rangkaian tanda Peirce dipandang sebagai yang lebih memiliki kekuatan penjelas dalam pembuatan arti paling tidak untuk dua alasan: (a) ketika dibandingkan dengan diad, triad menawarkan ekspansi yang besr dalam dasar dan lingkup dari hubungan-hubungan yang dapat diperoleh dari mereka, dan (b) triad tanda Peirce dapat dipakai bukan hanya untuk bahasa tapi untuk tanda-tanda dalam setiap modalitas manusia (sebagai contoh, musik, gambar, dan tari) dan penciptaan kultural (sebagai contoh, agama, arsitektur, dan gambar-gambar media).

Dari perspektif semiotik, baik alat-alat psikologis maupun teknis [Vygotsky] yang disebutkan dianggap sebagai tanda-tanda. Sebagai tambahan, pernyataan Vygotsky bahwa mediasi kultural dan pemungsian psikologi manusia adalah fenomena historis yang berubah-ubah yang seluruhnya konsisten dengan pandangan semiotik bahwa tanda-tanda yang berevolusi (yaitu arti) mengalami perubahan dan perkembangan terus menerus, atau semiosis, dalam konteks lingkungan-lingkungan sosiokultural. Pernyataan Vygotskian ke tiga, bahwa fungsi-fungsi psikologi manusia muncul dari aktivitas praktek dalam konteks-konteks tertentu, juga didukung oleh dasar filosofis dari semiotik, pragmatisme. Peirce, yang disebut oleh William James sebagai pendiri pragmatisme pada akhir tahun 1800-an, mengijinkan elemen-elemen pragmatik untuk memandu banyak dari pengambilan teori yang dia lakukan tentang dasar dari semiosis yang merupakan evolusi yang dinamis dari tanda-tanda atau proses-proses dimana tanda-tanda menjadi berarti. Dalam dicatat bahwa pragmatisme mendasari pekerjaan dari John Dewey, sekali seorang siswa dari Peirce di Johns Hopkins University, dan Jerome Bruner, yang berhubungan dengan kebangkitan kembali akhir-akhir ini dari psikologi kultural. 

Asumsi psikologi kultural bahwa kognisi adalah sebuah fenomena yang ddistribusikan dan bukan fenomena individual konsisten dengan prinsip-prinsip dari semiotik Peirce, seperti yang dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut ini dari tulisan-tulisan Peirce: “orang pada intinya adalah seekor binatang sosial” (hal. 3); “masalah yang ada menjadi bagaimana untuk memperbaiki kepercayaan, bukan hanya dalam bidang individual, tapi dalam komunitas” (hal. 13); “konsepsi ini [tentang realita] pada intinya melibatkan hal tentang sebuah KOMUNITAS [huruf besar seperti aslinya], tanpa batas-batas yang pasti, dan mampu memberikan peningkatan yang pasti untuk ilmu pengetahuan” (hal 247); “realita tergantung pada keputusan akhir dari komunitas” (hal. 250); dan “perkembangan pemikiran dengan memandang pada kelanjutan pikiran, dapat mempengaruhi seluruh orang atau komunitas dalam personalitas kolektifnya” (hal. 367). Maka, bagi Peirce, semiosis adalah sebuah proses sosial kolektif dan individual dan tanda-tanda didasarkan pada budaya-budaya. 

Selama sejarah saat ini tentang semiotik, kontributor utama seperti Thomas Sebeok dan Umberto Eco belum memiliki ketertarikan utama dalam teori dan praktek dari pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir, bagaimanapun juga, semakin banyak peneliti telah berusaha untuk menerapkan perspektif semiotik pada dilema-dilema dan kesempatan-kesempatan pendidikan yang terjadi (sebagai contoh, Cunningham, 1992; Lemke, 1990; Smith, 1992). Saya percaya bahwa semiotik, bersama dengan asumsi-asumsi dan bidang psikologi kultural, dapat mengijinkan penelitian kembali dalam hal vital dari beberapa masalah utama dalam pendidikan. Artikel-artikel dalam masalah khusus ini terdiri dari sebuah langkah penting dalam arah ini.

ARTI DALAM PRAKTEK PENDIDIKAN: MENINJAU ARTIKEL

Ø Arti dalam sebuah Pendekatan yang Berdasarkan Budaya untuk Perkembangan Anak
Dalam artikelnya, Judith Bernhard menampilkan posisi-posisi teoritis yang dibagi-bagi yang telah menahan penelitian dan praktek sirkular di Amerika Utara pada pendidikan awal masa kanak-kanak selama abad ke-20. Bernhard menjelaskan empat cara utama dalam pencapaian perkembangan manusia: (a) sebagai defisit, (b) sebagai kerugian atau perampasan, (c) sebagai perbedaan non inti, dan (d) sebagai heterogenitas mendasar. Untuk masing-masing pendekatan, dia menyebutkan asumsi-asumsi utama, kekurangan-kekurangan yang memungkinkan, dan implikasi-implikasi sirkular. Mendukung sebuah pandangan psikologi kultural dari perkembangan anak, Bernhard mengesahkan pendekatan ke empat.

Salah satu tujuan inti Bernhard adalah untuk menanyakan tentang keberadaan dari karakteristik manusia yang universal yang abstrak dan konteksnya bebas. Dia percaya bahwa tidak terdapat legitimasi untuk ekspresi-ekspresi umum seperti anak yang ‘berusia dua tahun’. Bagaimanapun juga, pembaca dapat salah menginterpretasikan penjelasannya tentang dasar dari ‘heterogenitas mendasar’, sebuah istilah yang mengacu pada perbedaan-perbedaan mendasar yang diciptakan ketika fungsi manusia dalam bidang kultural yang berbeda dan bukan pada perbedaan-perbedaan mendasar dalam potensi manusia untuk terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh sosiokultural. Untuk menyatakan kembali, manusia sebagai produk budaya dapat berbeda antara satu dengan yang lain, tapi kemampuan awal untuk memakai logika dan menggunakan alat-alat kultural, atau tanda-tanda, tidak berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Bernhard meminta kepada kita untuk meneliti kembali ikatan-ikatan dari universalitas dalam konsepsi-konsepsi kita tentang perkembangan anak dan untuk mengambil secara serius asumsi-asumsi operasional dari psikologi kultural.

Ø Arti-arti dalam sebuah Program Intervensi untuk Kaum Muda yang Beresiko
Dalam artikel ini, Donald Campbell menjelaskan program BreakAway Company untuk orang dewasa yang beresiko sebagai salah satu yang berdasar pada aktivitas kultural dan menghadapi tantangan yang umum tentang mewakili kemajuan siswa secara memuaskan. Bukannya mengambil rute yang diterima dari penghilangan ketidak sesuaian pengukuran yang disusun sebagai kesalahan statistik saja, bagaimanapun juga, Campbell menempatkan prinsip pada perbedaan-perbedaan ini dan pada arti-arti yang diberikan oleh para partisipan program untuk dilema-dilema kontekstual yang disusun. Analisis yang dihasilkannya memunculkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang validitas dari penggunaan alat-alat penilaian berdasarkan pada orang-orang yang terisolasi yang ditempatkan dalam situasi-situasi abstrak dan bukan pada partisipan yang bekerjasama dan berkomunikasi yang berbagi usaha sosial.

Perspektif Campbell dibagikan oleh penleiti dari Spanyol yang menunjukkan bahwa
Pola-pola motivasional adaptif dipelajari dengan lebih baik dalam sebuah konteks pekerjaan kerjasama daripada dalam seseorang [dan bahwa model-model penilaian harus terpusat lebih pada proses daripada produk, dengan lebih banyak referensi pada kriteria daripada norma, yang lebih terfokus pada aspek kualitatif daripda kuantitatif. (Rosa & Montero, 2000, hal. 80-81)

Seperti yang disampaikan oleh Rosa dan Montero (2000) di lain tmepat dalam bab mereka, Vygotsky mengantisipasi poin-poin ini. Hal yang sama, Campbell menjelaskan temuan-temuannya dengan mengacu pada konsep-konsep yang disahkan oleh psikologi kultural dan semiotik. Sebagai contoh, dia mengutip sumber-sumber yang memandang pembelajaran sebagai praktek sosial yang muncul dalam konteks dan yang melihat arti sebagai aktivitas yang dinamis dalam tindakan. Campbell juga menekankan peran dari naratif, seperti yang dipahami dalam lingkup luas (Bruner, 2000), dalam proses pembuatan arti (yaitu, dalam semiosis). Ada sedikit keraguan bahwa naratif, sebuah alat kultural utama, adalah sebuah media utama yang dilalui oleh manusia untuk menyusun arti. Namun, untuk banyak pendidik, pesan utama dalam pekerjaan Campbell telah diterapkan: ada batasan-batasan untuk nilai dari penggunaan tes-tes obyektif khusus dengan orang-orang yang berfungsi dalam situasi-situasi sosial yang berarti.

Ø Generasi dari Banyak Arti dalam Pembelajaran
Artikel Marjorie Siegel berakar kuat dalam semiotik Peircean. Pekerjaan yang dia lakukan meneliti arti dan keuntungan-keuntungan pendidikan dari pembangunan arti-arti analog alam sistem tanda-tanda yang berbeda dari sistem-sistem tanda yang digunakan untuk memberikan pesan-pesan asli yang telah dispesifikan sebelumnya. Siegel dengan ermat menggambarkan transmediasi, proses generatif dari penterjemahan arti dari satu sistem tanda ke sistem tanda lainnya (sebagai contoh, dari bahasa ke gambar), setelah dia telah menyimpulkan beberapa asumsi kunci dari Peirce yang mendukung proses terjemahan ini. Dengan adanya jumlah dan kerumitan dari rumus-rumus keterkaitan Peirce dan kekurangan yang dihasilkan untuk akses untuk sebagian besar pendidik, artikel Siegel baik untuk dibaca untuk kesimpulannya saja.

Di seluruh presentasi yang ditampilkannya, Siegel menekankan bahwa pembelajaran adalah sebuah proses sosial dimana para siswa secara aktif menyusun pemahaman mereka. Lebih lanjut, dia menggarisbawahi hubungan dengan transmediasi dengan mediasi kultural dan konvensi-konvensi kultural. Kedua poin ini adalah bukti dalam contoh-contoh yang diberikannya dari penelitiannya. Juga, saat menghubungkan metafora dan transmediasi, dia menunjukkan perhatian yang dapat disesuaikan yang mungkin dilewatkan oleh transmediasi, salah dimengerti, atau salah diinterpretasikan kecuali ada kehati-hatian untuk membuat konsep ini dapat diakses bagi para pendidik yang ada dalam posisi untuk mengambil keuntungan dari kekuatan yang ada padanya. Bagi mereka yang ada dalam psikologi kultural dan semiotik, pekerjaan Siegel memunculkan pertanyaan tentang apa yang umum dan apa yang unik ketika arti-arti yang sama disusun dalam sistem-sistem tanda yang berbeda. 

Ø Arti sebagai sebuah fungsi sejarah personal dan komunitas kultural
Dalam artikel terakhir dari masalah khusus ini, Nancy Haas dan Linda Rogers menyediakan sebuah perhatian tentang perseteruan budaya-budaya yang berdasar kuat pada semiotik yang terjadi ketika Tim bergerak dari rumahnya ke sekolahnya. Dalam budaya sekolah, guru menyamakan kemampuan komunikatif Tim dengan kinerja pada tes-tes standar dan pada tampilan-tampilan khusus dari kompetensi linguistik. Di budaya rumah, orang tua Tim telah membuat ukuran-ukuran alternatif dari kompetensi komunikatif, ukuran-ukuran yang tidak akan diterima oleh guru. Maka, sistem tanda fungsional Tim untuk rumah adalah tidak efektif dan memiliki nilai yang rendah di sekolah dan dia dimasukan dalam budaya ketidak mampuan.

Sebuah hal utama dari artikel Haas dan Roger adalah penggambarannya yang tajam tentang bagaimana tanda-tanda yang berevolusi hanya berfungsi dalam tatanan-tatanan tertentu dan komunitas-komunitas kultural tertentu. Kasus Tim menyediakan dukungan yang jelas untuk salah satu dari klaim penting Peire: bahwa tanda-tanda dapat berfungsi sebagai tanda-tanda hanya ketika tanda-tanda ini dipahami sebagai tanda-tanda. Yaitu, sebuah awan kumulus adalah sebuah tanda dari cuaca yang baik hanya bagi mereka yang memahami bahwa sebuah awal kumulus berarti ini. Pola komunikasi Tim yang berevolusi dengan hati-hati adalah berarti hanya bagi para anggota dari sebuah komunitas yang sangat terbatas. Seperti yang disebutkan oleh Haas dan Rogers, akibat-akibat untuk Tim adalah besr. Analisis mereka menggarisbawahi beberapa pernyataan utama dari psikologi kultural saat tergantung pada sebuah penjelasan yang diperoleh dari semiotik Peircean. Kasus Tim akan menggambarkan bagaimana kedua topik yang terkait ini, psikologi kultural dan semiotik, dapat bergabung untuk memberitahu dan mengarahkan praktek pendidikan.

0 komentar:

 

Copyright © ILMU KAULA Design by O Pregador | Powered by Blogger